pukul 4


Sudah pukul 4 sore. Seminggu berlalu. Hari ini sudah Senin lagi. Dan hari-hariku, setelah tanpa Tio, menjadi melambat dan lebih panjang. Manusia adalah kepedihan yang memikat; kehadiran yang sementara, kepergian yang kekal. Aku tidak bisa membayangkan bila aku benar sangat menyayanginya. Aku mungkin tidak akan melakukan apa pun selain menangis. Yah, meski aku cukup bertanya-tanya kenapa aku masih belum menangis atau merasakan hal-hal yang seharusnya dirasakan ketika putus cinta? Apa karena aku memang sebiasa saja itu? Lantas, bagaimana dengan Tio? Sejujurnya, aku ingin sekali bertanya “Yo, kamu sedih nggak habis putus denganku?” atau “Yo, kamu biasa aja atau patah hati?”, tapi itu percakapan yang tidak terjadi. Karena ketika putus, ya… putus.

“Alina, bisa ke ruangan saya sebentar?”

Itu Farid. Maksudku, Pak Farid. Iya, itu cem-cemannya Siti. Kalau di kantor aku manggilnya pake “pak”, kalau di luar cukup Farid aja. Yah, ngapain sopan-sopan sama laki-laki yang tidak bisa merasa cukup dengan satu perempuan?

Aku masuk ke ruangannya. Kulihat Farid duduk menghadap laptopnya. “Lin, Siti kan mau ulang tahun. Kamu bisa bantu saya cari kado buat dia, nggak?” tanya Farid.

Kado yang paling Siti inginkan adalah pernikahan. Ia mengharapkan dirinya menjadi satu-satunya pilihan yang Farid miliki. Ia mendambakan sebuah perjalanan yang searah bersama Farid, bukan Farid ke rumahnya, bukan pula ia ke kos-kosannya. Tetapi, kado itu bisa menjadi mimpi buruk untuk satu orang yang lain. Jadi… jangan. Jangan yang itu. 

“Saya kepikiran kalung, sih, gimana menurut kamu?” tanya Farid lagi.

Tidak. Kado paling tepat buat Siti adalah perpisahan. Kado itu tidak harus bagus, yang penting baik, meski menyakitkan saat diterima. Masih banyak laki-laki di luar sana yang pantas untuknya, yang setidaknya bisa cukup dengan satu perempuan saja (Hmm benar masih ada kan, ya). Masih banyak pilihan cinta yang mudah untuk Siti ambil daripada kisah cintanya dengan Farid. Siti kan juga perempuan. Aku yang tidak punya hati saja tidak akan sampai hati menjalani kehidupan seperti Siti. Ah, tapi begitulah. Memang ada orang-orang seperti Siti. Orang-orang yang menyukai bentuk cinta yang… yang tidak normal.

“Hei,” katanya.

Aku menoleh. Ah, andai bisa kukatakan apa yang sejak tadi kupikirkan.

“Iya, pak. Boleh itu, Siti pasti suka.”

“Oke, nih,” jawab Farid sambil mengeluarkan segepok uang dari laci meja kerjanya. “Kamu beliin ya, besok atau lusa, taro aja di meja saya.”

Dasar laki-laki gila. Aku kira dia cuma nanya, ternyata nyuruh beli juga. Ya dia pasti tidak bisa beli dan membawa pulang ke rumah, sih. Bukan, bukan. Bukan tidak bisa, tapi tidak berani. Dari sekian banyak laki-laki Siti memilih jatuh cinta dengan laki-laki pengecut dan tidak punya harga diri. Selingkuh berani, tapi takut menyakiti? Mungkin Farid bukannya tidak punya harga diri, tapi tidak punya otak. 

Sudah pukul 4 sore. Sudah waktunya aku pulang. Maaf. Maksudku, kembali. Kembali pada ibu. Kadang aku berpikir, kalau aku masih bisa kembali padanya, lantas ke mana ibu kembali? Apakah seorang ibu ditakdirkan untuk tidak bisa ke mana pun? Apakah beda seorang ibu dan seorang perempuan? Apakah dulu ibu pernah merasakan apa yang aku rasakan? Seperti apa ibu ketika masih jadi dirinya sendiri? Karena ibu sudah tidak lagi dirinya. Ibu menjadi banyak diri. Tidak mudah jadi ibu. Kalau mudah, bapak akan melakukannya. Ibu bisa jadi bapak. Bapak jadi manusia saja gagal. 

“Mbak Alina, ya?”

Ojek online-ku sudah datang. Dari kantor, memang harus naik ojek online dulu untuk ke halte terdekat. Aku pulang naik bus kota lagi. Kalau jam pulang kantor, setiap lima belas menit sejak pukul empat sore, bus-nya lewat. Lagi-lagi mengadu peruntungan episode sekian di Jakarta. Kalau balik cepat, bus penuh dan aku pasti tidak akan dapat tempat duduk lagi seperti berangkat. Kalau balik lebih malam, bus sepi, aku bisa duduk, tapi sampai lebih larut. Tidak ada pilihan yang enak. Pilihan yang enak cuma ada di surga, di sini tidak ada. Kalau ada, pasti cuma penipuan atau khayalan semata.

Kalian tahu apa yang paling aku sukai dari kota ini? Ketika ia bisa membuatmu merasa gaduh sekaligus sunyi dalam waktu yang sama. Semua orang kesepian. Semua orang tidak punya siapa-siapa. Semua orang tidak pernah nyata. Mereka cuma melakoni peran yang tidak mereka pilih sejak awal. Jakarta.

“Jakarta tuh nyaman banget, lagi,” ucap Tio beberapa jam sebelum menyatakan cintanya denganku. Dua tahun yang lalu. Kami sudah mulai pakai aku-kamu. Kami sudah mulai terbiasa dengan satu sama lain. Terbiasa saling ada.

Aku mengangkat alis. “Nyaman?”

“Iya, dari sekian banyak tempat yang pernah kudatangi, Jakarta masih memenangkan banyak hal. Ya… there’s no place like home, kan?”

Aku bergumam, “Haha. Rumah?”

“Kenapa, Na?” tanya Tio karena tidak terlalu menangkap apa yang kuucapkan.

“Kamu bilang tadi there’s no place like home, kan?” tanyaku berbalik. “Gimana kalau buat sebagian orang, rumah itu nggak ada? Gimana kalau sebenarnya rumah itu cuma istilah?”

Tio sudah cukup dewasa untuk bisa mengerti ke mana arah maksud ucapanku barusan. Ia diam saja. Ia mengizinkan aku berbicara.

“Orang rumah lagi sering ribut. Bapak sih lebih tepatnya. Bapak akhir-akhir ini berubah. Dia jadi lebih sering marah sejak kena PHK. Ibu yang kena,” lanjutku.

I’m sorry, Na,”

“Ah, gak apa-apa, Yo.”

“Semoga cepat berlalu ya,”

Udah 2 tahun, dan belum juga berlalu, malah semakin buruk. Ketika itu, istilah yang bernama rumah masih ada. Ketika bapak belum hilang akal sehat seperti sekarang. Ketika masih bisa diajak bicara, meski tidak selalu mendengarkan. Ketika aku masih memanggilnya “bapak”.

“Jadi, Jakarta tetep nyaman, nih?” tanyaku melanjutkan diskusi Tio yang tadi.

“Tetep, Na. Kan aku bilangnya nyaman, bukan aman…”

Mobil yang kami tumpangi berhenti di lampu merah. Hari itu Tio mengajakku ke rumah makan milik ayahnya. Dia tampan pakai kemeja garis-garis dan celana jeans yang tidak terlalu ketat. Sesekali dia melirikku, dan kubalas menatapnya, tapi ia langsung tersenyum dan mengalihkan pandangannya. Dia salah tingkah.

“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku menggodanya.

Dia menoleh ke arahku.

“Kamu gugup nggak, sih?”

“Kamu gugup emangnya?” 

Lampu hijau menyala, ia membuang muka dan melihat lurus ke depan. “Iya lagi,”

Aku tertawa kecil. “Kayak anak ABG aja gugup segala.”

“Kamu giliran kayak gini aja ketawa. Aku kalau lagi sengaja ngelucu biar kamu ketawa, mukamu datar, suram.”

“Hmm… berarti jangan diniatin,”

“Dijalanin aja berarti, ya?” sahut Tio buru-buru.

Aku melirik ke arahnya. “Yo…”

“Na…”

“Mau ngapain?”

“Mau sama kamu terus. Terserah apa aja, yang penting jalan selalu sama kamu.”

Ia meraih tanganku dan aku tidak menolaknya. Suasana di mobil mendadak hening. Aku tidak tahu harus menjawab apa.

“Apa, Pak?”

“Udah sampe haltenya, Mbak.” jawab ojek online yang kukendarai.

Aku sudah sampai halte, pas banget bus-nya sedang berhenti. Aku segera turun, membayarnya, dan lari untuk segera naik.

Sial. Benar aja tempat duduknya udah penuh. Aku sempat menimbang-nimbang “Apa turun lagi, ya?”. Ah, tapi seperti yang sudah-sudah sama saja. Bisa dapat tempat duduk di bus kota saat jam ramai gini terlalu mustahil.

Aku berdiri di bagian tengah. Dari samping, aku mendengar suara laki-laki dewasa yang setengah berbisik ke arahku: “Nggak dapat tempat duduk lagi ya, Mbak?”

Aku menoleh. Ternyata dia. Laki-laki itu.

… bersambung


124 responses to “pukul 4”

  1. ‘Rumah’ lagi lagi kata simple tapi gak banyak orang yang bisa mendeskripsikannya dengan baik. Terimakasih paus sudah membuat tulisan tulisan ini

    Liked by 1 person

  2. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA aku pembaca baru dari rintik sedu, dan yaa aku ga bisa berenti baca, gimana dooong paus tanggung jawabb

    Liked by 1 person

  3. Udah dua tahun dan masalahnya belum selesai namun lebih buruk ya, Na? Kira kira manusia seperti kita (aku dan kamu) bahagianya tahun berapa ya?

    Like

  4. Bisa bgt tau kita gugup di depan orang yang kita sangat sukai, tapi kalau orang tervaforit itu ternyata juga menyakiti kita rasa gugup itu tidak lagi pernah ingin muncul. Aku jadi bertanya-tanya kapan lengkung hampa ini akan berdetak sekencang itu lagi karena dopamin bernama “cinta”

    Like

  5. Baru banget baca tulisan paus disini setelah sering mantengin podcastnya. aaahh aku bakal nanyak beli buku kamu nih kalau gini. suka banget!! aku otw jadi teri ya us 🧡

    Like

  6. ini ceritanya sangat amat membuat aku merasa ada didalamnya us, makası udah buat cerita ini🥹😻💐

    Like

  7. MARI DI LANJUUUTTT USS‼️‼️
    Beberapa bagian di pukul 4 ini can relate bgt us, can’t wait for pukul 5 hehee

    Like

  8. Belum apa² Tio udah banyak di cariin pdahal belum tentu Tio sma Alina😶

    Like

  9. US INI LANJUTAN NYA DI PODCAST SETENGAH 5 ITU BUKAN SI SPERTI AGAK NYAMBUNG MULTIVERS ALINA INI

    Like

  10. Tengkyuu paus udh menghadirkam alina di tengah kita🙌🏻❤️
    Sebagian teri yg baca karna emg suka dengan karya mu us
    Tapi ada sebagian teri yg begitu ketemu alina he said “ah, alina it’s a me?”
    Dan lewat ini para teri yg mengalami hal sulit seperti alina jadi terselamatkan oleh mu us🙏🏻😊
    Mereka yg dulu nya berpikir “aku harus jalanin ini sendiri ya?, Hidup ku kok gini bgt si?, Bisa ga si bahagia dikit aja?” Finally mereka menemukan jawaban² itu lewat PUKUL SETENGAH LIMA✨

    Like

  11. Kepada Baginda paus, tolong part selanjutnya dicepatin, sekian terima kasih

    Like

  12. Sampai saat ini gue masih penasaran kenapa mereka harus berakhir dengan kata ‘putus’. Emang udah ga ada pilihan lain, ya?😌💔

    Like

  13. Tiba² muncul laki² aja tuh, ayo dong us episode nya keluarin semua aja… biar ga ovt nih😭🤣

    Like

  14. tsana kalo nulis pasti transisinya mulus banget dah 😭 keren abiest

    Like

  15. pauuuusss ini jam 4 subuh saya penasaran ama lanjutannya hiks:(( cefatt update yh

    Like

  16. is okay mbak alinaa💐💗 hidup memang seperti ini, sulit di tebak dan penuh kejutan..
    Pauss next chapter 😭🤍 semangat!

    Like

  17. Berharap kalau si laki-laki Tio sih US hahaha,
    Tapi keren US😻, di tunggu yg selanjutnya ya US❤️

    Like

  18. bukan, ini bukan tio kan yaa? ini tuh si itu tuh yang selalu alina temui kalau lagi di bus kota, awal mula cerpen ini adaa, iya kan paus?

    Like

  19. Kalimat highlight malam ini :
    “Tidak mudah jadi ibu. Kalau mudah, bapak akan melakukannya. Ibu bisa jadi bapak. Bapak jadi manusia saja gagal”
    “Mau sama kamu terus. Terserah apa aja, yang penting jalan selalu sama kamu.”

    paus, terimakasih sudah menyuarakan isi hati kami ya,
    ditunggu pukul 5 nya seng🤍😘

    Like

  20. omgggggggg, keren bgt kak tsana. ditunggu pukul setengah lima selanjutnya 🌹❤️

    Like

  21. yaampunn us ini aku yg bacanya kecepetan karena saking serunya atau gimana yaa seru banget huhu
    sehat selalu ya us biar bisa updete teruss ❤️

    Like

  22. lantas ke mana ibu kembali? Apakah seorang ibu ditakdirkan untuk tidak bisa ke mana pun? Apakah beda seorang ibu dan seorang perempuan?

    Hal yang sama yang selalu kutanyakan sama ibu, dan jawabnya selalu sama “di setiap keburukan pasti ada baiknya”

    Like

  23. 🗣️:“Mau sama kamu terus. Terserah apa aja, yang penting jalan selalu sama kamu.”
    Akkhkkrrr 😫😫 tiooo 💗💗💗

    Like

  24. ceritanya bagus, pake alur maju mundur tapi ttep nyambung sama jalan ceritanyaa. makasii paus

    Like

  25. SEPERTI BIASA AKHIR YANG MEMBUAT PARA TERI PENASARAN 10X LIPAAAT. TANGGUNG JAWAB USS

    Like

Leave a comment