BAB 1


Jadi, bagaimana Jakarta? Pra melepas sepatunya, meletakannya di belakang sebuah pot putih berisikan tanaman monstera. Dibaca dari banyaknya monstera yang tumbuh, pemilik rumahnya pasti sibuk bekerja. Sebab, monstera bukan tanaman yang manja. Ia bahkan mau memaafkan cahaya paling terang sekalipun, dengan tetap hidup.

Pra berbisik ke telinga Kinan, “Siapa lagi yang berpulang?”

“Ibunya. Ibu kandungnya,” jawab Kinan.

Pra diam sebentar, tak lama ia melangkah masuk ke dalam rumah yang diisi orang berpakaian serba hitam. Ia kemudian melihat kemejanya sendiri dan menyerukan pertanyaan berikutnya kepada Kinan, “Nan, ini biru tua apa hitam?”

“Sudah. Duduklah.”

Semua orang duduk mengelilingi jenazah seorang perempuan yang bahkan tidak ia kenal sebelumnya. Membacakan doa-doa, entah itu isinya ucapan selamat atau terima kasih. Selamat sudah abadi. Terima kasih sudah pernah hidup.

Sementara itu, Pra masih berputar pada pikirannya yang bingung, “Kok, ada yang buka handphone di saat lagi begini, Nan?”

“Kan, sekarang banyak aplikasi doa di handphone. Kamu nggak tahu?”

“Kitab suci modern gitu?”

“Susah ngomong sama orang jadul!”

Tampak seorang gadis kecil duduk tepat di samping jenazah, bersimpuh, memohon agar kedua mata itu bisa terbuka lagi. Pra menilik, dalam hatinya ia terus curiga, Kenapa tidak ada yang berusaha menenangkan tangis anak kecil itu? Apa upacara kepergian selalu memaklumi kesedihan?

Kinan ikut mengamati kebingungan Pra, segera ia bertanya sebelum laki-laki paling sok tahu itu seenaknya mengambil keputusan. “Hei, lihat apa?”

Pra lantas berjalan merangkak, semakin dekat dengan gadis kecil itu. Dihantui hantu atau rasa penasarannya sendiri sudah tidak ada bedanya. Orang-orang yang ada di situ berhenti membaca doa, memerhatikan Pra yang entah sedang melakukan apa. Kinan hanya menampung malu dengan terus tersenyum. Awas Si Jadul itu. Aku pukul dia nanti!

“Kenapa menangis?”

Sungguh pertanyaan yang tidak pantas dikeluarkan oleh laki-laki berusia dua puluh empat tahun di sebuah rumah duka. Kinan yang melihatnya cuma bisa menarik nafas panjang. Jangan sampai sepulang dari sini gantian aku yang mati karena habis sudah paham maklumku padamu, Pra.

Yang terdengar hanya suara sesenggukan, hal normal yang dilakukan anak kecil ketika ditinggal ibunya. Hal yang selalu normal untuk dilakukan semua orang ketika ditinggal orang yang dicintainya.

Kinan menghampiri Pra, mengajaknya keluar.

“Kamu ini udah gila, ya?”

“Nan, apa upacara kepergian selalu memaklumi kesedihan?

Perempuan yang paling marah bila ditanya ada apa itu memelankan laju suaranya, “Kita pulang aja deh.”

***

“Nan, kamu memang senang ya datang ke rumah duka? Memang tadi yang meninggal siapamu?”

“Bukan siapa-siapaku.”

“Lalu? Aku ngapain tadi?”

“Aku nggak minta kamu ikut. Bukannya kamu sendiri yang nanya aku ada di mana?”

“Nan, nggak melayat orang yang bahkan nggak kamu kenal itu… nggak dosa.”

Tempat kesukaan Kinan di muka bumi ini adalah sebuah rumah, rumah duka lebih tepatnya. Pra pun sudah berulang kali menebak-nebak mengapa ia senang sekali melayat orang mati yang juga tidak ia kenal. Seperti:

Karena kamu juga mau mati, Nan?

Karena kamu senang dengar orang baca doa bareng-bareng?

Karena ramai aja gitu?

Oh! Aku tahu. Pasti karena kamu bisa lihat yang begitu-begituan, kan.

Sudahlah, Nan, biarkan mereka pergi dengan tenang. Apa kamu nggak takut ketemu hantu?

Ya kalau bukan itu semua, terus apa dong?

Dan Kinan tidak menjawab, tidak pernah. Perempuan paling jelek di tempat ia bekerja itu tidak pernah mau menanggapi pertanyaan Pra yang tidak jarang kelewat gila. Seperti:

Nan, sekarang ke bulan sudah gampang. Apa nggak mau daftar?

Nan, apa menurutmu alam raya perlu dibela?

Duh, Nan, kamu ini terlalu sibuk dengan batas waktu yang memburu, sampai kamu nggak sadar bahwa selama ini kamus bahasa memperlakukan manusia dengan tampa. Tidakkah pantas kata tanya diciptakan tanpa ada kata jawabnya?

Hei, Nan, kamu menyukaiku, kan?

Yang terakhir adalah pertanyaan yang pernah buat Kinan marah. Sampai-sampai, seminggu lamanya ia tidak mau melihat wajah Pra muncul di tempat ia bekerja. “Kamu kalau masih berani ke sini, aku lurusin rambutmu!”

***

 “Tadi… bagus ya, Nan, tanaman monsteranya? Itu yang meninggal tadi pasti orang sibuk itu.”

Pra masih saja mencoba untuk mencairkan suasana dari rumah duka. Padahal ia pun tahu, kalau sudah begini, kebaikan seputih mutiara pun tidak akan benar buat Kinan; perempuan yang umurnya dua tahun lebih tua darinya, perempuan yang walau sudah hampir empat tahun mengenalnya masih saja penasaran sebenarnya Pra ini orang beneran atau bukan.

Satu-satunya hal yang membuat mereka masih berada di tempat yang sama adalah karena mereka sama-sama sendirian. Pra hidup sendiri, sedangkan ibu Kinan meninggal ketika melahirkannya dan bapaknya sudah menikah lagi dan entah sekarang berada di mana. Nasib buruk menghadirkan rasa cukup.

“Nan, kamu juga tahu nggak kalau monstera itu beracun?” ucap Pra dan terus meneruskan, “Wah. Berarti keindahan itu berbahaya, ya, Nan?”

Kinan adalah monsteraku. Tidak pernah membuatku susah, bahkan aku yang lebih sering membebaninya. Seperti daun monstera yang cukup besar dan tidak mudah gugur, kesabarannya padaku seperti kasih sayang seorang ibu. Kalau monstera luarnya indah tetapi beracun, maka Kinan tampak buruk namun dalam hatinya ia seperti karpet berbahan wol di rumah duka tadi. Tidak. Jangan sampai Kinan tahu apa yang sedang Pra pikirkan dalam kepalanya. Bisa-bisa ia mengirimnya ke neraka. Walau Kinan sendiri tidak percaya bahwa ada tempat yang bisa lebih mengerikan dari dunia yang sedang dia huni sekarang.

Waktu itu, Kinan masih kelas satu SMP ketika bapaknya memutuskan untuk menikahi sales rokok yang lebih cocok jadi kakaknya ketimbang jadi ibu angkatnya. Bahkan, Kinan yakin pasangan yang tidak sudi ia anggap orangtua baru itu, sekarang, pasti sudah berpisah. Heran, padahal bapakku bukan orang kaya. Kenapa perempuan yang kakinya seputih tepung terigu itu mau memberikan mahkotanya untuk kakek-kakek? Dan kenapa harus menikah segala? Padahal masih banyak hotel melati yang kosong dan banyak kesempatan bahkan di luar batas angka-angka yang mereka ketahui. Kenapa harus dengan menikah? Apakah ikatan suci sekarang bisa untuk kepentingan saja? Pikiran kotornya itu selalu tidak terpecahkan karena pada akhirnya ia kembali pada keyakinannya bahwa cinta adalah sesuatu yang valid tanpa perlu diuji, yang mengalir dalam darah manusia tanpa perlu dilihat di ruang laboratorium. Ia percaya, cinta adalah hal terakhir yang masih bisa membedakan dunia yang ia huni sekarang dengan neraka yang akan datang. Ya. Ia selalu percaya itu. Tapi mungkinkah cinta yang ia butuhkan ada dalam tubuh penyair gagal yang pikirannya jadul itu?

“Aku nggak akan mau sama kamu, Pra,”

“Aku cuma bahas monstera dari tadi.”

“Terus? Kenapa ke sini? Hmm? Kenapa masih ke sini lagi?”

Pra diam. Mengingat perpisahan yang baru terjadi beberapa jam sebelumnya. Bahwa ada yang lebih menyedihkan dari tangisan gadis kecil di rumah duka tadi. Bahwa sebenarnya ia ingin sekali menangis, bersimpuh, berdoa, agar… agar tidak pernah kembali. Tapi kalau harus ia ceritakan semua, mungkin sejak awal ia tidak akan pernah mencintai puisi; tanah lapang di mana yang kelihatan akan sulit untuk benar-benar terlihat. Ia tidak suka menjelaskan sebuah maksud, juga memaksudkan yang sudah benar-benar jelas. Buatnya, tidak ada yang perlu dibentuk karena manusia adalah abstrak. Seperti lingkaran hitam yang ketika didekati ternyata merupakan bagian atap dari sebuah topi. Yang membuat suatu hal jadi benar karena ada yang tidak benar, Nan, kalau semua masih terlihat mudah, di situ letak masalah.

Kinan mengamati wajah laki-laki bodoh di hadapannya yang itu, “Kamu sekarang cuma bisa bahasa serangga, ya?”

Pra tidak menjawab. Ia malah membayangkan bagaimana bila besok ketika bangun, ia sudah menjelma menjadi seekor serangga? Tapi ia tidak sendiri, Kinan juga ikut menemaninya. Kira-kira serangga apa yang cocok buat menggambarkannya? Apa kita setia seperti kupu-kupu saja, Nan? Tapi apa harus jadi kupu-kupu dulu untuk bisa setia? Mereka cuma kawin sekali dalam seumur hidupnya. Menolak hati lain yang mendekatinya. Apa kita mampu, Nan?

“Nan, kalau jadi kupu-kupu, mau?”

“Nggak. Umurnya pendek.”

Tidak ada yang tersisa kecuali dirinya sendiri. Tubuh jangkung yang kian hari kian kurus itu dengan rambut ikalnya yang sengaja dibiarkan panjang, supaya semakin sepadan dengan hidupnya yang berantakan. Tidak ada yang tersisa dari Jakarta. Termasuk bau aspal, jembatan penyebrangan, tempat ibadah, restoran siap saji yang padahal jual burger kesukaannya, juga tukang parkir yang akhirnya jadi gila karena ditinggal istrinya. Jangankan rumah, tempat berpijak pun tidak ada. Senja kesayangannya sudah lumer dan membentuk sebuah kota mati yang memanggilnya untuk melahirkan sebuah puisi.

“Nan, tunggu dong, apa nggak bisa jalannya lebih pelan sedikit?”

Kinan menghentikan langkahnya.

“Pra, aku nggak bisa ngikutin semua mau kamu. Kalau yang kamu cari adalah pasangan puisimu itu, maka sudah sampai bosan kukatakan bahwa bukan aku orangnya. Sastraku sudah lama tidak terdengar nafasnya, Pra. Sekarang yang kuinginkan cuma hidup, bukan tentang buku-buku itu. Fantasimu tidak cukup untuk duniaku. Pulang, Pra, pulanglah.”

Oke. Akan kubiarkan ia meneruskan langkahnya yang terburu-buru, jika memang itu maunya. Tapi aku tidak akan pulang, tidak selain kepadanya.

***

Meskipun sebenarnya ia ingin sekali mengejar Kinan, yang gerakan kakinya seolah-olah dikejar kereta api itu, tapi tidak. Bukti bahwa sebenarnya segala hal yang Kinan inginkan bisa ia berikan, sekalipun waktu. Kamu tidak bisa santai sedikit, ya, Nan? Tidak usah dijawab kalau dengan buru-buru, toh, sama juga menjelaskan, begitu kata Pra ketika itu.

“Apa?”

“Yang biasa saja, Bu.”

Pra membeli sebungkus rokok. Ia berdiri di depan sebuah warung pinggir jalan yang juga jual es kelapa muda kesukaannya. Tempo hari ia mengajak Kinan juga, tapi tetap, bukan tempat yang bisa membuatnya senang.

“Aku cuma mau berusaha.”

“Kamu tahu nggak semua yang diusahakan bisa ada hasilnya.”

“Terus gimana dong? Masa hidup cuma duduk manis saja sampai mati?”

“Kalau dengan begitu kamu bisa nggak ganggu aku, ya sudah, mungkin lebih baik memang begitu.”

“Terus ke mana, Nan? Kalau nggak sama kamu aku harus ke mana?”

Perempuan yang senang pakai jeans teratung itu menatapnya kasihan. Dalam hatinya ia berusaha memaafkan sikap dirinya sendiri terhadap satu-satunya laki-laki di dunia yang mustahil membuatnya jatuh cinta. Atau justru sebaliknya. Dasar bego kamu, Pra. Apa aku harus menerima cintamu dulu baru puisi-puisi jelekmu itu berhenti kamu kirim? Apa kamu tidak tahu bahwa ibu kos lah yang selalu jadi pembaca pertama puisi-puisimu itu? Pra. Cinta yang kamu anggap suci itu tidak lebih dari bon belanja sayur yang berkerut-kerut. Kertas-kertas itu lebih indah bila kulipat jadi perahu daripada harus kubaca. Aku tidak akan membiarkan hatiku senang karenamu, Pra. Aku tidak mau jadi bait dalam puisimu. Lebih baik aku menikah dengan nelayan yang paling-paling akan meninggalkanku karena ditelan laut, bukan pergi tanpa pesan seperti yang bisa kamu lakukan. Pra, aku tidak akan memberimu kesempatan itu. Tidak selama aku hidup.

Ia kembali sendirian, keadaan paling bermasalah sekaligus solusi dari masalah itu sendiri. Tidak jarang dipikirkannya tentang ke mana perginya doa-doa itu. Aku tidak pernah minta hujan, tapi hujan dikirim-Nya. Aku tidak pernah minta diriku sendiri, tapi aku dikirim-Nya ke bumi. Selama ini yang kuinginkan cuma sebuah surat balasan, tapi tidak juga kuterima. Apakah di surga tidak ada tukang pos? Atau surel? Kinan bilang sekarang kitab suci saja sudah ada di dalam handphone, lantas apa Tuhan tidak bisa belajar menjawab lewat sms saja? Atau lewat whatsapp karena kuota internetku masih banyak. Tuhan, Kau di mana? Apakah tidak sampai pertanyaan-pertanyaan itu? Lalu, harus ke mana lagi? Kalau kamus bahasa saja selama ini memperlakukanku dengan tampa?

Pembunuh paling kejam nomor satu di dunia itu berkeliaran di dalam kepalanya sendiri. Mungkin dia akan baik-baik saja, tapi tidak sekarang. Mungkin juga dia tidak akan baik-baik saja, tapi cuma untuk sekarang. Dalam kenyataannya, tidak ada yang benar-benar tahu berapa sebetulnya takaran kesembuhan yang kita butuhkan. Karena bisa jadi, rasa sakit adalah keadaan paling sembuh yang bisa kita rasakan.


75 responses to “BAB 1”

  1. Aku selalu suka dengan tulisanmu us, karakter yang kamu buat, kalimat yang kamu rangkai, aku suka.

    Like

  2. such a beautiful words, akan selalu jatuh cinta dengan susunan kalimat seorang tsana ❤

    Like

  3. Ini sudah ketiga kalinya aku membaca pra setelah di post ulang lagi. Senang, kali ini sudah ada kelanjutannya tapi akan lebih baik bila kubaca dari awal. Ditunggu novelnya ka. Sangat menunggu sampai ending cerita pra. Semangat berkarya paus❤️

    Like

  4. “rasa sakit adalah keadaan paling sembuh yang bisa kita rasakan”

    i am crying

    Like

  5. Pausss kamu hebat bangett si, aku rasanya sedang di dunia pra dan kinan merasakan suasana yg sama dan juga waktu yang sama. Bangga banget sama pauss❤🥺

    Like

  6. kak pauss emang paling bisa dalam membuat sebuah kata,,,kereennn kak pauuss.teri kecil ini selalu mendukung mu,,:)

    Liked by 1 person

  7. its always such a wonderful story. aaaaa paus, teri sangat bangga memilikimu. semangat selalu, sejuta cinta dan kasih akan selalu ada bersama dengan paus.

    Liked by 3 people

  8. ❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥

    Like

  9. baru bab 1 tapi dah mau nangis aja😭😭 Gilak cengeng bgt😭😭😭😭

    Like

  10. Baru baca karena baru pasnag instagram lagi hihi, pauuusss aku bangga sm kamu🥺🖤

    Like

  11. kinan kenapa gamau jadi bait puisi pra? apa kamu setakut itu pra pergi dan ninggalin pesan terakhir? hmm pausss bab 1 dah bikin galau 😔👍🏼

    Like

  12. TSANA KL DAH MAI TERBIT BILANGIN YAAA, AK MAU IKUT PO HWEHCNSJCHEBB, LOVE U PAUSSS♡

    Like

  13. Sejujurnya aku merasa menjadi kinan, ibuku meninggal dua tahun yang lalu, umurku 15 thn , semenjak upacara kematian dihari itu menjadikan diriku seperti kinan , suka datang ke tempat orang meninggal … Padahal bukan kerabat ku , suka ikut mendoakan, ikut mengantar ke pemakaman padahal itu bukan siapa siapa ku .. makanya waktu itu aku denger podcast rintik sedu tentang pra, jujur aku excited banget kalo kakak lagi bikin novel pra ini karna. I feel like it’s me hahahaha

    Like

  14. PAUSSS LOVE U SO MUCH. NOMU NOMU SARANGHE😭😭😭😭😭❤️❤️❤️❤️

    Like

  15. pausssss, aku baru pertama kali ini baca tulisan dan cerita kamu, and ya! i like it pausssss

    Like

  16. Senang sekali bisa tau tokoh-tokoh baru di novel karya Rintik Sedu. Selalu berkesan dan meninggalkan pembelajaran… mari baca lebih banyak, dan gali lebih dalam karakter nya.

    Pra, entah ia sama seperti pendahulunya atau tidak nama lengkapnya saja aku bekum tahu dari bab 1, apa ia sepuitis biru atau semengejutkan geez yang atau punya rasa cinta yg dalam sedalam keduanya, entahlah yang jelas sangat ingin mengenal Pra lebih dalam. Ditunggu segera novel nya yaa.

    Like

  17. aaaaaakkk bagus bangettttt.
    gak sabar nunggu novelnya terbitt
    ditunggu bab- bab selanjutnya tsann
    semangattt

    Like

  18. baru membaca bab 1 tetapi sudah membuatku tidak henti-hentinya takjub dengan cara menulismu pauss, usss kamu selalu punya cara dan gayamu sendiri yang selalu berhasil membuatku untuk selalu mengenali tulisanmu!! i lovee you pausss!!! 😘 from teri cantek😘

    Liked by 1 person

  19. ” Karena bisa jadi, rasa sakit adalah keadaan paling sembuh yang bisa kita rasakan.” – Pra

    Ngena siih ini wkwkwkwkkw

    Like

  20. Kalo baca cerita kak paus aku selalu kebawa juga ke dalam ceritanya

    Like

  21. Pra adalah sesosok yg menarik dan unik, bukan berarti dia polos, tapi pikirannya lah yang sudah terbang melayang jauh. Pra, pulanglah.

    Like

  22. akhirnya pra muncul (lagi)! congrats 🐳! ditunggu bentuk bukunya. salam sayang🤗🤍

    Like

  23. Semalam aku udah nungguin banget sampai bolak balik ig buat baca Pra. Eh taunya kakak telat post. Gapapa, karena aku seneng banget. Karena karya yang kutunggu2 memang sekeren ini rupanya.

    Like

  24. Cerita yang sangat menarik yang dikemas begitu cantik. Kak tsana memang sangat pandai, dia mampu menciptakan dunia dalam sebuah cerita. Pauss aku tunggu buku nya terbit ya! Semangat terus! Aku pribadi sangat mengagumimu!

    Like

  25. AAAAA SETELAH SEKIAN PURNAMA AKHIRNYA PRA MUNCUL, SENENG BANGET! I LOVE YOU SO MUCH USS!💗

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: