pukul 9


Aku mengangguk. “Iya. Aku dua tujuh, tahun ini,”

“Wah,” sahut Danu. “Masih muda banget, ternyata?”

“Udah terbilang tua kali kalau buat perempuan, mah…” jawabku. “Eh, bentar-bentar… Ternyata??? Emang mukaku nggak kayak dua tujuh???? Emang mukaku tua, ya?”

Ia tersenyum. “Kamu jarang senyum habisnya,”

“Apa hubungannya sama senyum?”

“Ya… jadi kelihatannya kayak cemberuuut… terus,”

Ini tidak benar. Sungguh tidak benar. Ada sesuatu tentang kebohongan ini yang terasa nikmat dan membuatku hanyut dalam sebuah ketidaknyataan. Kebohongan yang kuciptakan tempo hari, berhasil membawaku pergi sedikit lebih jauh. Dan… aku ingin pergi… semakin jauh lagi.

“Yee…” sahutku. “Nggak senyum, tuh, bukan berarti cemberut. Lagian, ngapain senyum-senyum di bus,”

“Lho, memang kenapa kalau senyum-senyum di bus?” tanyanya lagi.

“Mmm… kenapa, ya?” aku ikut bertanya.

Dia tertawa. “Marni, kamu ini memang lucu atau pertanyaanku terlalu memusingkan?” tanyanya.

“Agak memusingkan… kalau boleh jujur…” kataku. “Maksudku… ya… untuk apa senyum-senyum di bus kalau nggak ada alasannya? Gila dong namanya?”

“Iya, iya. Jadi maksudmu, nggak perlu senyum kalau nggak mau, kan?”

Aku diam mengangguk, dan menunggu.

“Hmm… aku sering, lagi,” lanjutnya. “Aku sering ingin senyum kalau kita lagi ngobrol, kalau kamu lagi balas ucapanku dengan jawaban yang apa adanya. Aku nggak tahu kamu sadar atau nggak, tapi, kamu orang yang menyenangkan, Marni.”

Wah. Ternyata dia gila. Udah sakit dia. Aku? Orang yang menyenangkan? Well, aku memang pernah kagum akan sebuah kata lestari yang keluar dari mulutnya. Sekarang, aku sungguh kasihan padanya. Kamu salah, Danu, bukan itu kata yang tepat untuk kamu pilih dari dalam kamus bahasa. Harusnya kamu memilih kata menyedihkan, itu baru benar.

“Menyenangkan dari mana? Kayaknya aku nggak ngapa-ngapain,” kataku.

“Menyenangkan itu kan sebuah perasaan, Marni. Jadi nggak ada letak pastinya, aku cuma menerjemahkan apa yang kurasain aja.”

Kebohongan adalah hiburan tanpa tujuan. Dan itu alasannya mengapa Danu senang terhadap Marni. Karena Marni adalah sebuah kebohongan. Jadi, tentu saja Marni akan menghiburnya dalam ketidaknyataan yang sementara.

“Sementara… kita jangan bahas soal rencana dulu, ya?” aku bertanya pada Tio saat itu. “Kalau harus jawab sekarang, nggak ada jawabannya, Yo. Antara kepalaku nggak ada isinya atau kebanyakan isi. Jadi nggak ada yang bisa kupikirin, jangankan kamu, kita, mikirin diri sendiri aja aku nggak bisa.”

Tio mendekat, meraih tanganku. “Ceritain, Al. Cerita dong sama aku. Kenapa sampai kebanyakan isi? Kenapa sampai juga terasa kayak nggak ada isinya? Kenapa bisa gitu? Aku jadi bingung kalau kamu harus melalui semuanya sendiri. Cerita, Al…”

Aku ingin sekali cerita sama Tio. Tapi aku tahu ia tidak akan mengerti. Aku tahu tidak akan ada yang berubah setelah aku cerita sama dia. 

“Masalah rumah lagi ya?” tanyanya lagi.

Hanya itu yang Tio tahu. Masalah rumah. Masalah bapak yang agak gila, dan ibu yang kuat tubuh beserta jiwanya. Itu kenapa, dalam sebuah buku, hal kecil sangatlah penting. Tidak boleh ada yang terlewati. Details matter, they said. Sayangnya, dalam buku yang ini, Tio hanya membaca huruf besar dan judulnya saja. Bukan karena dia tidak teliti, tapi aku, selaku penulisnya, sengaja tidak menuliskannya. Makanya, Tio bahkan tidak pernah sungguh-sungguh mengenal karakter Alina dengan benar. Yah, memang tidak ada yang bisa. Sekalipun ia adalah Alina itu sendiri.

“Iya, biasa,” jawabku.

Dan hanya itu jawaban yang bisa aku berikan. 

Ia memelukku. Badanku kaku. Aku sudah tidak bisa lagi menemukan kehangatan dalam pelukannya, sebab aku tahu, aku hanya sedang menancapkan pisau tajam pada hatinya.

“It’s gonna be fine. It’s gonna be fine,” katanya sambil membelai rambutku. 

Dari reaksinya saja, ia sudah menunjukkan bahwa pada kenyataannya, tidak ada yang akan baik-baik saja. Tio hanya mengenal kata, sedangkan aku cuma bisa menelan realita.

“Marni,” bisik Danu.

“Ya?” sahutku. “Kok bisik-bisik segala,”

“Ini…” kata Danu sambil mengisyaratkanku untuk melihat ke arah seseorang yang duduk di sebelahnya.

Kulihat ada seorang bapak-bapak tertidur dan jatuh pada lengan Danu. Sontak membuatku tersenyum lebar, menahan tawa. Danu pun kembali menjawab dengan isyarat yang memintaku untuk tidak menertawakanya. 

“Pegel tau!” bisiknya lagi.

Aku tiba-tiba tertegun. Teringat akan obrolan soal usia Danu beberapa menit lalu. Sesaat aku melirik kedua tangannya, tapi tidak kutemukan ada cincin yang menyinggahi jari manisnya. Berarti dia belum menikah. Tapi di usianya, bukannya, harusnya ia sudah menikah?

Tidak. Tidak. Aku cuma Marni. Aku tidak bisa menyelam hingga ke paragraf yang seintim itu.

Aku lantas menepuk tangan si bapak-bapak yang tertidur. Membuat kening Danu berkerut. “Heh, mau apa?”

“Mau kubangunin. Pegel kan kamu?” tanyaku sambil terus mencoba membangunkan bapak itu.

“Nggak usah, Marni, kasihan,”

Masa bodoh. Ini bus, tidak bisa seenaknya begitu. Mau bapak-bapak, ibu-ibu, nenek-nenek, kakek-kakek. “Pak, maaf, temen saya pegel nih,” kataku setelah bapak itu terbangun dan akhirnya menegakkan posisi duduknya. 

Danu menoleh ke arahku, mengamatiku. “Marni, kok gitu sih? Aku gapapa loh,” tanyanya seolah menyayangkan apa yang kulakukan barusan.

“Tapi kamu pegel, kan?”

“Iya…” katanya. “Tapi… ya udah. Biasa kan ada orang ketiduran kayak gitu, nggak disengaja juga.”

“Kamu orangnya nggak enakan, ya?” tanyaku.

Danu tidak menjawab apa pun. Ia tampak berpikir.

“Ya kalau pegel, pegel aja,” lanjutku. “Kalau nggak nyaman, bilang nggak nyaman. Kalau kamu nggak suka ada orang yang ketiduran di sebelah kamu, bilang, bangunin, biar nggak ganggu. Sayang tau, kata ‘nggak’ udah diciptain, tapi nggak dipake.”

“Marni…” Danu tersenyum pedar.

“Kenapa?” tanyaku. “Menyesal, ya? Bilang aku orang yang menyenangkan? Kamu, sih, cepat menyimpulkan,”

“Kamu bawel ternyata,” kata Danu. 

Butuh beberapa detik bagiku untuk menyadari bahwa barusan aku terlalu banyak bicara. Entah apa pemicunya. Itu seperti… bukan aku. Apa karena perkara Tio di dalam kepalaku yang masih sering kambuh dan mengganggu realita yang baru? 

“Jangan dipusingkan,” katanya lagi. “Bawelmu beralasan. Aku bisa nerima. Bahkan, aku terlalu senang mendengarnya. Bukan menyesal, aku malah semakini meyakini, bahwa aku nggak salah: kamu semenyenangkan itu orangnya.”

… bersambung


125 responses to “pukul 9”

  1. Danu,lu bisa gak usah jadi alasan aku senyum senyum baca ini cerita. Terlalu nyata untuk kamu yang fiksi

    Like

  2. Aku tim alina aja us, yang sering pengen punya hubungan tapi gamu orang tau masalah aku.

    Like

  3. Can relate bgt jadi tio. TAPI BINGUNG ORG KAYAK ALINA JADI TUH MAUNYA DIGIMANAIN SIIIII KAN

    Like

  4. Akuuu masihh berada di tim tio, yaa walaupun Danu bikin gemesin, baperin. Tetep Tio selalu didepan. Bikin happy ending loh usss

    Like

  5. tim danu jaya jaya jaya!!! pauss tolong bgt endingnya dibuat bahagia aja bisa gaaaaaaaaaaaaaaaa

    Like

  6. dimohon tenang teman-teman dengan part ini, karena tulisan tisna tidak se kiyutt itu untuk dibuat senyum” 🙂

    Like

  7. senyum senyum dulu aja kalian wahai teri, inget yah endingnya apa. ingetttt

    Like

  8. santai teriii jgn baperan paus klo bkin cerita endingnya serem 💔💔💔

    Like

  9. Bisa ga durasi nya aga panjangan dikit gitu us, greget banget aku😬💖

    Like

  10. AYOOO US KELUARKAN SMUA EPISODE NYA GA SABAR HUHU PENGEN BACA LAGI KELANJUTAN NYA!

    Like

  11. OKE.. OKE.. KITA HARUS PAHAMI, BISA JADI INI JEBAKAN , OKE.. OKE… senyum bentar aja, , aku gak tau bakal gimana kalau ternYta Danu tau Marni baru awal aja bohonggggggg namanya

    Like

  12. US kamu parah bgt si klo bikin ending yg macem2 ALIAS aku udah salting ++ baper parah

    Like

  13. Tenang.. seperti permen karet. Awalnya manis dan akhirnya tak berasa itulah cerita tsana
    Jadi kita tunggu aja ceritanya tapi jangan terlalu dalem ntar kecewa.

    Like

  14. Tenang.. seperti permen karet. Awalnya manis dan akhirnya tak berasa itulah cerita tsana

    Like

  15. Woiii apa apaan ini. Crush gua juga dulu bilang gini. Tapi tetep aja jadian sama cewe lain:)

    Like

  16. 🫀 : “Oke oke, tenang, santai, salting boleh tapi jangan berlebihan. Tau sendiiri si Tisna kadang suka ngadi-ngadi bikin ending.”

    Like

  17. TEMAN TEMAN, KITA HARUS INGAT KALAU CERITA INI MUNGKIN ENDINGNYA TIDAK SEBAIK YANG KUTA KIRA. PERSIAPKAN DIRI KALIAN

    Like

  18. Ahh kak tsna lanjutt dongg bapernya tambahinn lagii 🫶🏻🫶🏻😍

    Like

  19. Kamu yang nulis, aku yang baca dan tersipu malu bacanyaaaaa. OMG Tsanaaaaaaaaaaaaaa

    Like

  20. bisa dipanjangin lagi ga uss. Dikit bgt hahaha bapernya nanggung😭😭😭

    Like

  21. hufft “kebohongan adalah hiburan tanpa tujuan” aduh pukul 9 bahasanya deep banget ya uss 🙃

    Like

  22. al ayo move on dr Tioo, ak sekarang tim Danu soalnya(gtw besok)🙏🙏

    Like

  23. waduh uuus Danu sweet bgt, endingnya yang halus-halus aja ya please?

    Like

  24. Kayanya yang nulis chapter ini bukan tisna deh, soalnya aku dibuat senyum-senyum bacanya!!! Biasanya kan sedih kalo tisna ya g buat 😠❤️

    Like

  25. Paus, keren bangettt! sayaang banget sama Alina, hugs for you, Al! SALTING BRUTAAL SAMA DANUU, lucuu banget😆😚

    Like

  26. yealah us, semangat bener nulis ni cerita, kek semangat para teri nunggu ni cerita, ya wajar si ya sampe typo gitu. HAHAHAHAHA MAKIN KESANA MAKIN KIDDING NI DANU ARGHHHH

    Like

  27. AAAAAAA AAAAA DANUUUU AAAA DANUUU DANUUU AAAAAAAAAAAA TIM DANU SAMPEK KIAMAT!

    Like

Leave a comment