pukul 8


“Emangnya kalau celingak-celinguk selalu berarti lagi nyari sesuatu?” tanyaku. “Orang aku lagi lihat-lihat aja,”

“Hmm…” ia bergumam. “Berarti, kamu kalau lihat-lihat selalu sambil jinjit?”

Tampak bodoh di depan orang asing selalu menjadi nasib sial yang tidak pernah kita duga. Dan, ya. Aku sedang tampak bodoh sekarang.

“Saya kayaknya cukup tinggi, ya, Marni? Jadi kamu nggak seharusnya sampai jinjit begitu,” lanjutnya lagi.

Aku tidak menjawab, hanya sedikit menarik senyum kesalku. Tidak lama, bus kami pun datang. Saat kami naik, kernet bus memberi aba-aba kalau di paling belakang, masih ada beberapa kursi yang kosong. Ya. Akhirnya, setelah sekian lama, kami dapat tempat duduk.

“Wah, akhirnya kita duduk juga ya. Udah lama banget, nih, saya nggak dapat tempat duduk begini. Kamu benar-benar keberuntungan saya,” kata Danu semringah.

Kasihan Danu. Dia tidak tahu kalau keberuntungan yang dia bicarakan adalah malapetaka yang hanya akan menipunya. Marni tidak lebih dari sebuah kebohongan yang kurencanakan. 

“Rencana itu seperti sebuah nyawa, Al, tiap manusia harus punya,” kata Tio hari itu. Aku tidak tahu pasti soal kapannya, entahlah, perlahan ingatanku tentangnya mulai pudar.

“Rencana, ya…?” tanyaku agak ragu. “Rencana… Hmm… Aku bangun setiap pagi, lalu cari ojek untuk ke tempat bus, kerja, pulang… Itu rencana, Yo.”

“Itu bukan rencana, Al, itu realitas.”

“Ya, realitas itu kan bagian dari sebuah rencana, Yo,”

“Rencana itu mencakup bahasan yang lebih luas, Alina. Seperti sebuah diskusi yang awalnya nggak kamu mengerti, tapi ingin terus kamu cari pemahamannya.”

Tio adalah pemimpin petualang banyak rencana. Adalah hal yang mudah buat beberapa perempuan untuk menyukainya. Dia selalu tahu harus apa dan bagaimana. Dia selalu tahu hari ini lebih baik kami makan di mana. Dia selalu tahu tempat ternyaman untuk berbicara denganku. Dia selalu tahu cara menghadapiku, meski untuk hal yang ini, ia sangat… sangat kewalahan. 

“Contohnya…?” tanyaku.

Ia melipat tangannya, bersiap-siap menyahut dengan kesombongannya.

“Yaa…” ucapnya memulai jawabannya. “Seperti… hidup lebih lama sama kamu, Al? Seperti… mencari rumah yang kamu inginkan? Seperti menggambar masa depan yang kita tuju?”

“Kamu emang selalu gini, ya, Yo?”

“Gini gimana?”

“Terstruktur,” jawabku.

Ia diam, memandangiku.

“Kamu tuh… terlalu rapi. Terlalu terencana,” lanjutku.

Sedangkan aku? Aku bahkan tidak pernah tahu seperti apa rasanya buat rencana. Karena sejak kecil, ibu selalu ambil alih jatah keputusan di tiap fase kehidupanku. Sekolah, teman, mimpi, cita-cita, makanan, minuman, pakaian, sepatu, model rambut, kegemaran, bahkan soal laki-laki. 

Ia tersenyum kecil sambil mengerutkan alisnya. “Terlalu… terencana…?”

“Iya. Nggak semua orang bisa kayak gitu, Yo,” jawabku. “Rencana tuh kadang kayak mimpi buruk. Rencana seolah jadi patokan manusia untuk bahagia atau nggak. Sebuah diskusi yang kamu maksud itu bisa membunuh kita perlahan kalau selamanya cuma jadi bahan pemikiran. Aku nggak punya rencana, Yo, aku nggak akan pernah bisa bikin rencana.”

“Sama aku?” tanyanya, “Sama aku pun kamu nggak punya rencana, Al?”

Aku diam. Aku tidak mau menjawabnya, karena aku tahu jawabanku hanya akan sangat menyakitinya.

“Heh,”

Danu menepuk tanganku. Aku menoleh. Kulihat ia sedang memangku tas ranselnya.

“Kamu bengongan, ya, ternyata orangnya?” tanya Danu.

“Kamu tadi pagi juga nggak nyapa aku,” kataku.

“Hah? Gimana-gimana?” tanyanya lagi. Kali ini dengan agak bingung.

“Iya tadi pagi,” kataku meneruskan. “Kita satu bus, tapi kamu nggak nyapa aku. Dan aku perhatiin, kamu juga bengong terus.”

“Oh…” jawabnya sambil sedikit tertawa. “Itu bukan bengong, Marni, itu ngantuk.”

“Ngantuk? Kok nggak merem?”

“Kamu segitunya merhatiin saya, ya? Kamu tadi pagi di mana, sih, emangnya? Kok saya nggak lihat?”

Aku terdiam, menelan ludah, lalu kembali meluruskan pandanganku ke depan. Tolol kamu, Alina. Untuk apa kamu mengatakan hal semacam itu? Belum waktunya, dasar bego!

“Heh, kok malah diem?” tanyanya lagi.

“Ya…” ucapku berusaha menjawab. “Nggak jauh… jadi kelihatan aja. Cuma… ya… aku ketutup sama bapak-bapak yang lumayan tinggi badannya. Jadi makanya kamu… nggak lihat aku, gitu,”

“Iya habisnya kamu mungil, sih, ya?”

Brengsek. Kenapa dia jadi terdengar begitu menggemaskan? Ini nggak beres. Aku pasti udah gila.

“Besok-besok nggak ngantuk lagi, deh…” lanjut Danu mengejekku. Ya mungkin maksudnya bukan mengejek, tapi aku benar-benar tersipu sekali sekarang. “Nanti aku lebih teliti cari kamu di bus, ya?”

“Aku…?” ucapku memastikan. 

“Mmm?”

“Kamu barusan ngomong aku… bukan pake… saya…?”

“Iya, barengin kamu aja, ya? Biar kesannya aku nggak tua-tua banget,”

Oh iya, ya… Aku nggak kepikiran sampai sana, lagi. Dari awal dia emang ngomongnya pakai saya, apa karena dia emang udah tua? Makanya terbiasa ngomong pake saya? Ah… Tapi mukanya…? Mukanya belum bapak-bapak, belum om-om… Kupanggil Mas Danu juga masih cocok banget, daripada Pak Danu…? Alina! Apa, sih? Kenapa jadi harus sesuai ekspektasi kamu gini? Dasar ngelunjak.

“Boleh tahu nggak berapa…?” tanyaku agak ragu.

“Boleh,” jawabnya segera sambil tersenyum tenang. Ternyata ia tahu ke mana arah pertanyaanku. “Aku kelahiran tahun delapan lima,”

Aku buru-buru mengeluarkan kalkulator di dalam kepalaku. Dua ribu dua tiga… dikurangi seribu sembilan ratus delapan lima…

“Aku tiga delapan tahun ini,”

Aku menoleh dan membelalak, “Hah? Kamu tiga delapan?”

Sial. Dia tiga delapan, dong? Tua banget? Ya, bukan masalah juga, sih. Toh dia orang asing dan aku hanyalah sebuah kebohongan.

“Kenapa? Takut ya sama yang tua-tua?” tanyanya.

“Ih, nggak…” jawabku dengan merasa tidak enak hati. Responku tadi mungkin tampak berlebihan. “Kaget aja. Mukamu… kayak masih… tiga puluh?”

“Iya bener kok tiga puluh, tapi tambah delapan,” katanya. “Kalau kamu? Pasti tiga puluh aja belum, ya?”

… bersambung


130 responses to “pukul 8”

  1. Menurut aku ya, kenapa Alina ga ngerasa lepas sama Tio? Karena Alina sendiri udah yakin dalam lubuk hatinya kalau Tio bukan orangnya, pemikiran-pemikiran, tebakan-tebakan, hal-hal yang dia suarakan dalam hati, udah jadi alasan kalau dia emang ga bisa selepas dan seapaadanya sama Tio. Kalau aku perhatikan, kalau sama Tio, Alina tuh sedu gitu auranya hiks, menurut aku sih ya.

    Liked by 1 person

  2. asli, pukul setengah lima ini ringan banget, bikin enjoy pembacanya. Selalu tramua sama alur yang super plot twis gitu, dan ini? baca dari prolog sampai dengan pukul 8, memang ga terlalu bikin beban di otak tapi bikin kangen. Bisa yok sampe pukul pukulannnn. Keren abis Paus ku. Aku jadi pengin jadi Ikan Remora. Biar bisa deket sama Paus keren kaya kamu.

    Like

  3. Tolong bgt Us, aku udh ngefly bgt ini sm mereka, jd jgn dibikin terjun bebas ya🙂

    Like

  4. APA-APAAN INI, DIH UDH SEGITU? KURANG PANJANG DIKIT GA SIH?! PAUUSS..

    CEPAT LANJUTKAN..

    Like

  5. Pas baca endingnya refleks ngomong “dih” yaAllah us ga kependekannn apaa:( ini mah gaada satu 2 menit kali bacanyaa, tolongg eps selanjutnyaa panjangnya sebuku yahh usss

    Like

  6. PAUSS KENAPAAA SETENGAH SETENGAHHHH KAN LAGI SERU INI CERITANYA EGHEVEJAHJSH

    Like

  7. Pausss aku baca ulang dari awal loh buat dapat feelnya, dan ternyata aku jadi ikutan jadi Marni di belahan dunia lain

    Like

  8. Bab pertengahan memang healing, bab akhir paus tidak bisa tidak buat sad ending 😦

    Like

  9. Duhhh, kenapa ini buat reminder seseorang us, sedih sumpah, kata-kata yang di ucapinnya sama persis :”

    Huaa us tau dari mana sih kata-kata cowok

    Like

  10. USSSS SAYAAAA SALTINKK,, JANGAN KASI ENDING MENYAKIDKAN YACHHHHHH 🥲🥲🥲🥲🥲🤏🤏🤏🤏🤏🤏🤏🤏

    Like

  11. Menunggu plot twist yg akan dtng di pukul 9 .. seceptnya ya us, semangaat mengerjakan pukul² berikutnya.. fighting my paus ^^

    Like

  12. ga bisaaaaa usssss inii gemessss bangetttt lop yuuuu seribuuu juta jutaaa prlanet deh buat pausss

    Like

  13. gabisa us gabisa gw dikasih asupan yang gemes-gemes gini 😭😭😭😭

    Like

  14. kenapa aku bacanya sambil senyum senyum ya us? sialan aku ikutan tersipu karenamu us. jangan sampe aku udah tersipu kaya gini tapi endingnya kamu nanti bom kaya bom hirosima nagasaki ya uss.

    Like

  15. Bisa ga siiii durasinya lebih panjanggg, gemes bangetttt😭🤍

    Like

  16. sangat tidak sabar. Semangat us, ayafyu.
    Jgn lupa minum minuman hijau ya, eh itu ah matcha🤣

    Like

  17. sangat tidak sabar. Semangat us, ayafyu.
    Jgn lupa minum minuman hijau ya, eh itu ah matcha🤣

    Like

  18. Kurang panjanggggg😭 mau ditambah lagi durasinya bisa ga siiiii Pausssssssssss

    Like

  19. Kurang panjanggggg😭 mau ditambah lagi durasinya bisa ga siiiii Pausssssssssss

    Like

Leave a comment