pukul 6


Marni adalah nama ibuku. 

Bila kalian sempat tertawa, tidak apa. Jangan merasa buruk. Memang pasti aneh mendengar nama Marni di masa-masa seperti sekarang ini. Sebab Marni hidup di sebuah masa yang lalu sekali. Sebuah masa yang sudah tidak ada. Seperti yang pernah kukatakan, kebohongan membuatku sadar bahwa yang kuinginkan adalah menjadi tidak ada. Tidak ada berarti menjelma orang yang bukan aku. Dan aku memilih menjadi ibu. 

“Marni?” tanya Danu memastikan sekali lagi. 

Wah. Sekarang, dia sudah bernama.

“Iya, kenapa? Aneh, ya?” tanyaku.

“Nggak. Nggak aneh, jarang aja.”

Marni berarti setia dan kuat. Ibu setia pada bapak, pada hidup, pada luka, pada air mata, pada trauma, juga pada kesengsaraan. Ibu tidak pernah berkhianat, sekali pun pengkhianatan itu bisa menyelamatkannya. Tidak, ibu tidak pernah ingkar janji, sebab ibu kuat. Ibu selalu menyimpan kata “cuma” di dalam semua kepiluannya. “Itu cuma luka”, “itu cuma memar”, “itu cuma sebentar”, “itu cuma sakit sedikit”. Ibu sungguh-sungguh Marni sejati. 

“Marni,” lanjutnya dengan nada suara yang lebih pelan.

“Kenapa?”

“Gapapa, cuma namamu seperti begitu dekat meski baru pertama kali saya dengar,”

Ragu yang tadinya bergemuruh karena sebuah kebohongan kecil yang baru kumulai ini, tiba-tiba terhenti saat melihat reaksinya yang begitu damai kusaksikan di dalam bus kota yang sumpek.

“Ya… mungkin karena namanya… lumayan kuno… kali, ya?” aku menimpalinya.

“Hmm…” gumamnya. “Kayaknya, istilah yang tepat bukan kuno, ah, tapi lestari.”

Ia berhenti sebentar, seolah memberiku jeda waktu untuk memikirkan baik-baik tentang perkataannya barusan. Tentang lestari. Lestari berarti tidak berubah; bertahan; kekal. Dari jutaan kata di kamus bahasa, ia memilih lestari untuk melengkapi kalimatnya. Ia bukan hanya orang asing, tapi juga orang yang berbeda dari orang-orang yang pernah kutemui sebelumnya.

“Banyak nama yang mulai musnah dan melangka, nama yang kini akan aneh bila didengar padahal Indonesia banget. Seperti namamu. Aku makasih sekali,” lanjutnya.

“Makasih untuk?”

“Untuk sebuah Marni.”

Sial. Kenapa aku jadi seperti menyesal telah berbohong padanya? Bagaimana bila dia tahu kalau aku sebenarnya cuma Alina. Alina yang tidak akan sampai pada Marni. Ya. Aku jauh sekali dari sebuah Marni. Mendekati saja tidak. Karena tadinya kupikir, ia mungkin orang biasa yang akan berlalu-lalang begitu saja. Bahkan, aku sempat berpikir dia jahat dan akan kurang ajar. Ternyata tidak. Tidak semua orang sebrengsek aku.

“Hah?” sahutku. “Itu kan cuma nama,”

Dan aku terlambat untuk menyudahinya (kebohongan itu).

“Bohong? Kamu bohongin aku, Al?” ketus Tio menyudutkanku di suatu malam ketika kami bertengkar. Aku agak lupa kapan, tapi yang jelas, itu pertengkaran pertama kami, yang kebetulan lumayan hebat.

 “Siapa yang bohong? Aku nggak bohong! Aku cuma nggak bilang!” jawabku lebih ketus.

Tio tidak sengaja melihat beberapa titik luka memar di tanganku, setelah aku membuka jaket untuk menemaninya makan malam di tempatnya. Itu seharusnya jadi malam yang biasa saja, tetapi rasa sayang Tio padaku, menghancurkannya.

“Kita ke rumah sakit, Al,” katanya sambil beranjak dan mengambil kunci mobilnya.

“Apa, sih?” tanyaku, “Kok jadi rumah sakit? Nggak ada yang sakit. Aku nggak kenapa-kenapa, Yo. Ini kayak kamu jatuh, atau kebentur sesuatu, pasti jadi kayak gini.”

Dia terus mengamati bagian memar di tanganku, tanpa terlalu mengindahkan ucapanku.

“Tapi kamu nggak jatuh,” ucapnya pelan. “Kamu juga nggak kebentur. Kamu dibentur. Kamu dipukulin, Al.”

Perasaan manusia sungguh merepotkan. Andai dua manusia bisa menjalin sesuatu tanpa ada perasaan, aku pasti akan bersamanya sampai waktu yang lama. Karena aku paling tidak bisa melihatnya seperti ini. Aku tidak bisa melihatnya mengkhawatirkan seseorang sepertiku. Aku tidak bisa melihatnya buang waktu.

“Iya, oke,” kataku. “Kamu benar, aku yang salah. Harusnya aku bilang, harusnya aku cerita, cuma… aku nggak biasa cerita tentang hal-hal semacam ini, maksudku… ini bukan hal mudah untuk yang… tiba-tiba aku bisa nelfon dan kasih tahu kamu. Tapi aku akui, aku salah. Ya…? Tapi aku nggak bohong waktu aku bilang aku nggak kenapa-kenapa. Ini udah nggak berasa, Yo…”

“Coba kamu lihat sendiri deh,” katanya sambil memegang tanganku, “Ini tuh kenapa-kenapa, Al, ini tuh isyarat dari tubuh kamu kalau dia kesakitan makanya jadi biru kayak gini.”

Malam itu, makanan yang sudah ia siapkan di meja makan, tidak kami sentuh sama sekali. Mendingin, dan jadi hambar. Ia tidak melakukan banyak hal selain mengompres tanganku, dan memelukku. Saat itulah aku sempat mengira bahwa Tio adalah jawabannya.

“Itu bukan cuma,” jawab Danu setelah aku menanggapi ucapannya soal sebuah Marni. “Sebuah nama itu bukan sebuah cuma, Mar.”

“Lalu?”

“Sebuah nama adalah sebuah doa.”

Sayang sekali namaku Alina, karena dalam bahasa Belanda, Alina berarti seorang diri. Bila benar nama itu adalah doa, berarti doa ibuku dikabulkan Tuhan. Aku sekarang sendiri dan memang lebih baik sendiri. Aku hanya akan mengusir semua orang yang kusayangi, karena kupikir, mereka akan lebih aman tanpaku.

“Oh, iya?” sahutku sambil membuka handphone untuk mencari arti nama Danu di internet. “Wah, lihat deh, namamu artinya bagus. Mau nggak kubacain?”

Aku diam sebentar, melihat ekspresinya yang hanya mematung dan tersenyum.

“Danu dalam bahasa Jawa, artinya orang yang jadi cahaya penerang.” lanjutku. “Hmm… Kelihatannya iya, sih.”

“Ya saya cuma bisa mengaminkan.”

“Amin…” aku menimpalinya.

Tidak kusangka, ia malah tertawa kecil.

“Ih, kok ketawa?” kataku lagi.

“Iya, kenapa ya?” tanyanya berbalik. “Lucu aja.”

“Lucu? Emang caranya mengaminkan bukan dengan bilang amin?”

Ia tertawa lagi tepat ketika bus berhenti di tempat pemberhentianku.

“Yah, kan, aku udah harus turun,” kataku.

“Kok yah?”

“Maksudnya?”

“Ya… ini kan percakapan pertama kita,” jawabnya. “Jadi ini bukan perpisahan, kamu cuma harus pulang, bukan pergi.”

… bersambung


83 responses to “pukul 6”

  1. Sudahlah us jangan membuatku bingung harus memilih antara danu atau tio sama seperti kala itu,ya..biru atau nug

    Like

  2. Jangan bikin aku bingung hrus memilih danu atau tio us sama seperti kala itu,ya tentang biru dan nug;)

    Like

  3. keren banget ceritanya jadi falshback ke akun wattpadku yang udah mati wkkwkwkw

    Like

  4. Wlau banyak org suka Danu. Wlau mungkin dia lucu. Walau mungkin Alina bkal jatuh hati. Ak ttp suka sm Tio. Ttp mnyimpan rasa penasaran yg dalam. Mungkin bnyak yg mau Tio samping tpi ya gmna lg. #TimTio ayok balikan😭🤝🏻

    Like

  5. Aku masih penasaran dengan tio, tapi aku tidak berharap Alina kembali bersama nya, karena hidup harus terus berjalan, tidak untuk berputar balik, aku suka jika Alina bercerita tentang Tio meski itu hanya kenangan yang sudah lalu, Alina aku yakin Danu masa depan kamu

    Liked by 1 person

  6. danu cu bgt, tp bagi org yang gk percaya cinta. bakalan susah ngelihat danu baik dan gk jahat. isinya jadi was-was ketemu danu jadinya😭😭😭

    Like

  7. tsana, aku jadi inget mimihku yang bernama Alm. Marni, dan anaknya bernama Danu. bisa pas gini yaaaa :””””””””””””

    Like

  8. diantara banyaknya manusia yang tiba-tiba suka sama danu, ntah kenapa aku masih terjebak sama Tio us, aku masih penasaran sama dia, Tio benar benar menarik penuh atensi ku sejak pertama kali aku membaca cerita ini, mungkin karna aku merasa sifat alina dengan ku aga berbalik ya, Tio baik aku suka tapi aku juga cukup suka danu karna dia baik juga hehe, jangan dibikin sad ya us kasian smam hati akuu, semangat ka tisnaa saranghae

    Like

  9. hahaha jadi merasa berdalah deh karna udah ngakak pas baca marni di pukul 5, ternyata dibalik kata marni ada makna dan story yang bikin nyesek. wow ga terduga
    snagat menarik pauss! aku bakal nungguin pukul 7 dst… sehat selalu paus disana!

    Like

  10. hahaha awal kalimat langsung , iya tidak papa kalian ketawa sama nama marni auto ngerasa bersalah karna pas baca di pukul lima betul betul ngakak 😂 good job paus; makna matni tidak terduga! kita semua excited nungguin pukul7 😁😁

    Like

  11. warning! kalo udah gini pasti Paus lagi nyiapin cerita yg tidak beres:)😂

    btw, semangat paus, aku tunggu update-nya!

    Like

  12. Oke paus mulai membuat para terinya dijemurr, dikit lagi mateng, kelamaan jadi gosong. intinya jangan pernah berekspektasi tentang ending dari kisah kisah yang ditulis paus yang teman-teman teriku yang keren xoxo

    Like

  13. Uss kenapa sih setiap ceritamu kayak mempunyai karakter reel life benaran sih

    Like

  14. “Perasaan manusia sungguh merepotkan. Andai dua manusia bisa menjalin sesuatu tanpa ada perasaan”
    Huaaaaaaa sungguh merepotkan.

    Like

  15. Aaahhh kurang panjang 😭 tapi gapapa aku setia menunggu Marni. Eh, Alina maksudku

    Like

  16. “kamu cuma harus pulang, bukan pergi”
    ahh pausss ngenaa bangettt

    Like

  17. Ini bukan perpisahan, kamu cuma harus pulang, bukan pergi. 🥲 gk sabar sama kelanjutannya😘💗

    Like

  18. Pausss, you Made this for me?? I so love it(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡

    Like

  19. PAUUUUUS, akhirnya setelah beberapa minggu nungguin Alina. Alina nih bikin aku bingung + penasaran + suka. Jujur Paus aku always jatuh cinta sama tulisanmu, tapi kurang panjang 🙂, g sabar nunggu pukul set5 selanjutnya 😍🤩

    Like

  20. Alina sekarang kamu ga sendirian, sekarang ada kita.
    PAUS SAYANG SEMANGAT UPDATENYA 🤍🤍🤍🤍

    Like

  21. Kalimat terakhir si ngena bngt. Emang paling bisa si mas danu iniiihhh. Sampai ketemu di pukul selanjutnya pauusss.. Semangat

    Like

  22. kenapa aku setuju ya sama Alina, waktu Alina bilang “Andai dua manusia bisa menjalin sesuatu tanpa ada perasaan”

    Like

  23. Ini bagus dan keren sekalii pausku🤗😍😍
    Bener2 plot twist klo baca karyamu ya, Us
    Sayaangg pauss😚😚

    Like

  24. Jatuh hati kepada manusia seperti Tio, merawat saya semampu dia. Terima kasih sudah datang🤍

    Like

  25. Kamu cuma harus pulang, bukan pergi. Aaaa maknanya dalem banget.

    Like

Leave a comment