Category: PRA

  • BAB 9

    Awal perjumpaan yang biasa saja. Ketika Pra sudah siap dengan 3 ekor ikan cakalang yang dibawanya untuk diantarkan kepada seorang pemilik indekos. Ketika itu, Pra belum melaut sendiri, masih bantu-bantu Dawan. Jadi kesibukannya hanya mengantar pesanan ikan untuk pembeli yang memang kenal dekat dengan Dawan. Seorang perempuan dengan kemeja hijau terang keluar dari rumah kos…

  • BAB 8

    Di depan rumah orang tua Hara, Kinan sering melihat seorang perempuan tua yang duduk di depan sebuah rumah putih berpagar hitam. Pandangannya selalu lurus ke depan. Ia hanya ditemani sebuah tongkat di sebelah kirinya. Kinan kira hanya sekali, dua kali, namun sudah tujuh hari ia bekerja, tidak sehari pun sosok perempuan paruh baya itu hilang…

  • BAB 7

    Rina cuma bisa memandang Pra yang duduk di depan pintu salon; tempat ia bekerja, tempat seharusnya Kinan berada. Habis kata ia berikan kepada Pra yang tidak juga bisa mengerti. Ya… sebenarnya Pra juga tidak bisa banyak berharap pada Rina, ia tahu betul bahwa penyelesaian yang dibutuhkannya, hanya ada pada Kinan seorang.  “Pulang, hampir magrib.” Pra…

  • BAB 6

    Kinan memandangi seekor kucing yang tidak mau pergi dari depan pintu kamar kosnya. Warnanya perpaduan hitam dan putih, mungkin umurnya sekitar dua bulan. Berulang kali Kinan mengusirnya tapi kucing itu tidak juga pergi. “Pemalas!” “Dia nggak ngerti bahasamu juga, Nan.” ucap Wati sambil mengelap kaca jendela. Ia terheran-heran dengan perilaku aneh Kinan setelah makan soto.…

  • BAB 5

    Kesan pertama Pra ketika sampai di rumah duka itu adalah sepi. Tidak ada orang sama sekali kecuali Rina, dan beberapa petugas yang mengurus keperluan jenazah sebelum dikuburkan. Sebenarnya ia juga tidak menduga bahwa tujuan Kinan siang itu benar-benar rumah duka dalam arti yang sebenarnya. Ia kira akan mengunjungi sebuah rumah sederhana, di mana banyak sanak…

  • BAB 4

    Kinan menutup matanya kuat-kuat. Masih tidak disangkanya bahwa ia akan melanjutkan petualangannya sendirian, dengan bekal keberanian yang tiap hari kian menipis. Apakah benar yang kupilih ini? Bagaimana kalau laki-laki yang mengaku bernama Hara itu adalah orang jahat? Tapi apakah orang jahat selalu mudah dipercaya? Apakah juga adalah hal yang benar kalau aku pergi tanpa menyisakan pamit…

  • BAB 3

    Gelisah menghuni batin Kinan. Kepalanya tiba-tiba diisi oleh wajah seorang laki-laki yang bahkan tidak ia tahu namanya itu. Satu yang terekam jelas cuma suara yang terus berbicara di telinganya. “Biarkan ia pulang. Biarkan ia pulang.”  Tidak, Kinan tidak sedang bertanya siapa sebenarnya laki-laki berwajah cakap itu. Kinan cuma tidak suka merasa punya hutang. Ia terus terbayang…

  • BAB 2

    Andai suara yang bisa didengar tidak hanya dari mulut saja. Andai yang ada di kepala juga bisa didengar orang lain tanpa perlu dikatakan. Maka barangkali, tiap manusia tidak akan lagi saling menyakiti, karena telepati akan jadi hal umum buat semua orang. Maka barangkali juga, Kinan akan mengenyahkan semua puisi-puisi jelek yang tidak akan bisa dihapus…

  • BAB 1

    Jadi, bagaimana Jakarta? Pra melepas sepatunya, meletakannya di belakang sebuah pot putih berisikan tanaman monstera. Dibaca dari banyaknya monstera yang tumbuh, pemilik rumahnya pasti sibuk bekerja. Sebab, monstera bukan tanaman yang manja. Ia bahkan mau memaafkan cahaya paling terang sekalipun, dengan tetap hidup. Pra berbisik ke telinga Kinan, “Siapa lagi yang berpulang?” “Ibunya. Ibu kandungnya,” jawab Kinan.…