pukul 5


Tidak. Itu bukan Tio. 

Itu bukan siapa-siapa. Itu hanya seorang laki-laki asing yang memang sering kulihat di bus kota. Aku lebih sering melihatnya ketika pagi hari, sepertinya kami punya jam berangkat yang lebih mirip daripada jam pulang. Aku bisa sampai mengingatnya, karena sepertiku, ia juga jarang kebagian tempat duduk. Kerap kali, aku bahkan berdiri di sebelahnya tanpa disengaja. Ikut mengintip bacaannya di laman berita yang ada di handphone-nya. Aku sebenarnya yakin kalau ia tahu aku suka mengintip begitu, namun entah mengapa ia seperti membiarkan.

“Iya nih,” jawabku.

“Yah mau gimana ya, Mba,” katanya lagi sambil melihat jam di tangannya. “Pukul setengah lima gini, emang lagi padet-padet-nya. Nggak ada pilihan, yang penting cepet pulang. Ya?”

Pukul setengah lima. Ada sesuatu tentang laki-laki itu yang membuatku membayangkan sebuah kehidupan yang baru. Kehidupan yang tidak pernah kumiliki, yang tidak bisa terjadi pada kehidupanku yang sekarang ini. Kehidupan itu bukan rumah, melainkan sebuah tempat persinggahan. Mungkin.

“Iya, ini aja sampai rumah juga pasti udah gelap. Belum macetnya di tol,” jawabku menimpalinya.

Ia menjawabku dengan hanya bergumam. 

Tidak lama, bus pun jalan. Aku mengeluarkan earphone untuk mendengar musik. Membuka spotify, dan memilih playlist “buat didengerin di bus”. Aku senang mendengarkan musik dengan volume tinggi. Sensasi memusingkan tetapi menenangkan. Aku sebenarnya sering takut telingaku akan rusak, tapi buktinya belum rusak, tuh, mungkin karena suara bapak tiap mengamuk lebih tinggi. Jadi untuk sekadar musik, bukan apa-apa; bukan tandingannya.

Aku kemudian mendengar sayup-sayup suara yang membidik ke arahku. Dugaanku adalah laki-laki asing tadi lagi. Aku akhirnya melepas earphone-ku sebelah, dan menanggapi ucapannya yang tidak terlalu kudengar sebelumnya.

“Eh sorrysorry, nggak kedengaran lagi pake earphone. Kenapa, Mas?”

“Oh ya udah, ya udah, monggo dilanjutin aja dengar musiknya,” balasnya agak canggung.

“Gapapa, Mas, nggak terlalu pengin dengerin musik, kok.”

Udah gila aku. Ucapan macam apa barusan?

“Tadi kenapa, Mas?” lanjutku lagi.

“Nggak, itu… saya sering lihat Mbak di bus ini,”

“Iya, saya juga sering lihat Mas.”

Kami terdiam, belum ada yang mulai melanjutkan. Aku bukan penebak atau pembaca isi pikiran seseorang. Aku bahkan belum bisa terlalu teliti mengamatinya. Tapi kalau dari bahasa tubuhnya, ia seperti empat atau lima tahun lebih tua dariku. Tinggi badannya hampir seperti Tio.

Jalan tol macet. Antre untuk masuk gerbang tol juga sama macetnya. Aku jadi maju-mundur untuk kembali mendengar musik dan menempelkan earphone ke telingaku. Bagaimana bila dia mengajakku mengobrol lagi? Tapi kalau pun iya, mau bahas apa lagi? Apa lagi yang bisa terjadi di antara dua orang asing selain berbasa-basi?

“Gila ya macetnya, ya, Mbak,” katanya sambil terus memantau keadaan jalan.

“Iya hadeh, emang parah,” sahutku. 

“Besok ke kantor lagi, Mbak?” tanyanya.

Aku mengangguk iya. “Ya iya, besok kan masih Selasa,”

Ia tertawa kecil, “Waduh iya. Ini baru Senin, ya?”

Terbit senyum pada wajahku. Aku tidak bisa menjelaskan kenapa aku bisa sampai tersenyum hanya untuk sebuah percakapan receh dan sederhana semacam itu. Aku sering kena macet dengan Siti, tapi tidak pernah tersenyum tiap kali dia mengeluh soal kemacetannya. Aku, dulu, juga berkali-kali kena macet sama Tio, tapi tidak pernah ada percakapan soal kemacetan yang bisa membuatku sampai tersenyum segala. 

Tidak ada nama. Bagian terbaik dari dua orang asing. Ya. Tidak ada nama. Hanya ada cerita, tanpa tokoh dan nama. Hanya ada sebuah tragedi, tanpa persepsi. Bukankah itu menarik? Bukankah nama adalah sebuah hal yang pelik? Kadang aku berpikir, hidup pasti lebih mudah kalau kita tidak terlalu mengetahui banyak nama. Kita hanya tahu, tanpa perlu mengenal. Kita hanya membaca, tanpa perlu ambil tanggung jawab dengan apa yang ada di dalamnya. 

Sebuah nama mengganggu ingatan dan manusia. Sebuah nama hanya menyulitkan.

“Hanya menjelaskan, nggak, sih?” tanya Tio beberapa bulan setelah kami jadian. 

“Menjelaskan apa lagi?” tanyaku berbalik, “Menjelaskan apa kalau dari awal aku udah bilang aku nggak mau menamakan apa pun, Yo?”

“Tapi kamu punya aku, kan?”

Aku tertegun dan tidak langsung menjawab. Manusia memang kerap kali tidak bisa membedakan kata-kata yang ada di kamus bahasa; antara yang bisa mereka gunakan, dan yang tidak. Sebab perihal kepunyaan, itu di luar jangkauan kita. Itu bahasan Tuhan. 

“Tuh, kan, kamu mikir segala,” tanyanya lagi.

“Iya aku nggak tahu harus gimana kalau kamu lagi mode drama gini, Yo,” kataku. “Lagipula, kita kan udah sepakat dari awal, dan kamu pun menyanggupi. Hubungan antara dua manusia harusnya bisa lebih dari sebuah nama dan tanda kepemilikan. Aku pikir kamu cukup dewasa untuk memahami dan percaya kalau semua ini nyata.”

Aku marah, dan dia tahu aku marah. Ia kemudian menjauhkan tubuhnya dariku, bersandar di jok kemudi mobilnya, dan memandangiku. Hari itu ia memang sedang menjemputku dari kantor. Aku sudah menebak kalau ada hal yang mendesak sampai ia ingin bertemu denganku. Dan ternyata, hal mendesak yang dimaksudnya adalah sebuah nama.

“Aku nggak mau menamakan hubungan ini karena aku nggak mau kalau segala hal yang terjadi di antara kita berdua ini, nantinya hanya perihal mulai dan selesai.” lanjutku lagi. “Aku peduli sama kamu, aku bahkan menyukai semua drama ini karena aku memang maunya ada di sini sama kamu.”

Tidak. Aku sebenarnya tidak yakin dengan apa yang kukatakan. Aku hanya mengucapkan apa yang ingin ia dengar supaya bisa meredakannya. Aku tidak suka menamakan hubungan karena itu buruk untuk masa depan. Tanpa nama, berarti tidak ada masa lalu. Tidak ada kenangan. Tidak ada hari menyedihkan untuk melupakan. Tidak ada jam malam untuk ragam penyesalan. Tidak ada perjalanan menjelajah kenangan. Ketika ini semua berakhir, yang tersisa hanya aku yang akan membebaskan Tio. 

“Bebas hambatan…”

Aku menoleh dan laki-laki asing itu sedang bercerita tentang entah apa karena aku sedang melamunkan suatu hal lain tadi. Iya “hal lain”.

“Mas, maaf aku nggak denger lagi,”

Ia memberiku senyum, dan aku tidak sengaja menangkap sorotan matanya. 

“Kapan ya jalan di Jakarta bebas hambatan?” 

“Hah?”

“Itu yang tadi saya tanya, tapi kamu nggak denger,”

“Oh!” sahutku. “Nggak tahu ya, mungkin pas lebaran, Mas? Orang-orang pada pulang ke kampungnya. Aku sebenarnya agak kasihan sama Jakarta. Kota yang tampak riuh ini, sebenarnya nggak lebih dari tempat singgah banyak orang yang nggak suka-suka amat sama dia.”

“Saya Danu,” ia mengulurkan salah satu tangannya, karena yang satunya lagi berpegangan pada gantungan tangan bus kota. 

Tidak ada yang bisa kulakukan selain menjabat uluran tangannya, terdiam, dan terkelu. Entah kenapa aku seperti tidak mau atau tidak bisa memberi jawaban semudah itu.

“Nggak boleh tahu, ya?” tanyanya lagi karena aku diam saja.

“Aku Marni.”

Pukul setengah lima. Aku menjadi orang lain, akhirnya.

… bersambung


204 responses to “pukul 5”

  1. “Karena dengan tidak adanya nama, tidak ada yang harus dilupakann”
    Aseloleee bangett inima kek gue heheww

    Like

  2. Jujur aku juga pernah di posisi ini. posisi dimana nama ku terlalu membuat aku merasa lelah akan hidup jadi kenalannya nyebut nama ku versi lain.

    Like

  3. ayu uss dilanjut lagi aku penasaran 😭
    btw kenapa namanya Marni ya us wkwk

    Like

  4. Ohh, kayaknya tanpa nama juga yang ia mau. Baiklah kalau begitu, gabisa maksa

    Like

  5. Aaaa marni nama singkatankuu ternyata bisa masuk k ceritanya paus jugaa😭 emg pilihan nama yg bagus paussss

    Like

  6. jadii ini pukul setengah lima i know, btw kenapa sii uss namanya harus marni😭😔

    Like

  7. Semoga kmu bisa lebih aesthetic lagi dalam pemilihan nama yaaa USS😭🥺💕

    Like

  8. Pernah bgt lagi diposisi Tio. Dijadikan objek “HTS” tapi sekarang hubungan yang ngga punya nama itu berakhir. Dia yang mengakhiri persis seperti Alina. Sampai sekarang aku cuma mau dia bahagia dan mampu melanjutkan perjalanan. Alina kamu nonton apa tadi pagi sebelum berangkat kerja kok bisa tiba” Marni? Who its Marni, Alina?

    Like

  9. ngakak sekali pas bagian “aku marni” bisa bisanya kepikiran nama Marni si us wkwkwk

    Like

  10. Kenapa harus MARNI Al?
    Btw Alina, nama mas mas yang di Bus sama dengan nama crushku. Dari namanya.., sepertinya beliau ini orang Jawa?
    Yang kamu maksud tanpa nama itu HTS kan Al?

    #HTSJAYAJAYAJAYA

    Like

  11. Oke Us kenapa harus MARNI🙂
    Btw Mas mas di Bus namanya sama dengan nama crushku US, dari namanya sepertinya beliau ini orang Jawa ya Us?
    Daaan maksudnya tanpa nama HTS kan Us?

    Like

  12. MARNIIII OOOIII MARNIIII 😭
    Sekarang ngomong lo gue, besoknya tiba² ngomong kulo sampean 😭 pantesan aje mas mba mas mba, ternyata mau cosplay jadi MARNIII😭
    GUA GIGIT JUGA LO USS !!! GEMEZZ GUE !!

    Like

  13. Ending yang tak terdugaa, kenapaa harus jadi orang lain Alina. Marniiii lagi, Usss!!😭😭

    Like

  14. oke pertama sbnrnya aku berharap itu Tio huhu sorry, Na. keduaaaa Marnii?!?!

    Like

  15. ahahaha Marni sifatnya seperti seseorang yang ku kenal.
    eh bentar aku jadi lupa siapa sebenernya nama asli Marni

    us, baca ini aku jadi teringat sm salah satu kalimat di podcast mu

    ” jangan bilang jalanin dulu aja , klo kamu cuma takut untuk bilang ngga”
    #HTS_JAYAJAYAJAYA

    Hai Enda apa kabar?

    Like

  16. Us, marni tuh namanya ke jawa²an banget us ga sesuai sama nama² di kota jakarta😭😭

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: