Tidak ada jawaban adalah jawaban.


“Aku suka kamu, deh.”

Dia hanya mendengarkan dan gak menjawab apa-apa. Dia tersenyum kecil, sambil menatapku. Senyumannya memang indah, makanya sering mengalihkanku dari jawabannya yang gak pernah kudengar itu. Ya. Ini bukan yang pertama kali aku menyatakan perasaanku terhadapnya, bahwa aku menyukainya, bahwa aku ingin menyebut hubungan ini dengan sebuah nama.

Bukannya menanggapi pernyataanku, dia malah bertanya, “Kamu mau teh, nggak?”

Yah, dia emang gitu. Udah dua tahun kenal dia, bareng dia, tapi dia masih juga gak mau memulai percakapan tentang cinta. Akunya udah telanjur suka, tapi dia bahkan gak pernah menyampaikan satu pun bentuk tanda. Maksud… it’s fine if he doesn’t like me, tapi pernyataan suka aku, bukannya layak dapat tanggapan? Padahal sesederhana iya atau nggak. 

Kujawab aja jutek, “Nggak.”

“Kok nggak?” tanya dia lagi sambil meneruskan, “Hujan-hujan gini enak tau minum teh.”

“Nggak pengin.” jawabku.

Wajar kan aku sebel gini? Apalagi ini udah sering kejadian. Ketika dia hampir selalu mengalihkan topik perasaanku kepada hal lainnya yang gak penting. Aku tahu di luar memang hujan, dan masuk akal bila dia menawarkan secangkir teh, tapi aku mau semuanya jelas sebelum hujannya reda. Titik.

“Terus penginnya apa? Mau pesen makanan aja?” 

Bagian paling menyebalkan dari pertanyaannya adalah, ketika aku tahu kalau dia tahu aku penginnya apa. Dia tidak cukup asing untuk bisa peka. Dia tidak cukup jauh untuk bisa paham. Dia terlalu pura-pura untuk semua yang sudah terlihat nyata.

Mungkin begini ya rasanya mencintai sekaligus membenci orang yang sama. Mungkin ini alasannya kenapa sebagian manusia di bumi ingin sekali tidak mencintai orang yang dicintainya. Karena menanti itu menjemukan, karena mencari jawaban yang tidak mau ditemukan itu menjengkelkan. Yah, pesawat yang delay saja bikin kita kesal, apalagi soal menanti kejelasan akan perasaan? 

Kita terbiasa tahu, terbiasa merasa, terbiasa berkata, makanya merepotkan sekali bila mendadak keadaannya membuat kita gak bisa apa-apa. Ya?

“Kalau mau pesen makan, kamu aja, aku bentar lagi pulang.”

Mukanya kaget, lalu dia lihat jam, masih pukul tujuh malam, “Loh? Kok pulang?”

“Iya, aku emang gak lama.”

“Aku kira kamu tidur di sini? Tapi kalau mau pulang, gak apa-apa, aku anterin, ya?”

Aku jawab, “Aku lagi pengin pulang sendiri, sih,”

“Udah malem,”

“Iya, tahu. Kenapa emangnya?”

“Kamu jadi dingin, gini.” ucapnya lalu meninggalkanku ke dapur.

Aku udah terlalu sering mengambil banyak kesempatan untuk menyampaikan, mengatakan, mengutarakan, menyatakan, dan menunjukkan. Aku udah selalu meladeni basa-basinya tiap kali ia memilih untuk tidak menghiraukan perasaanku. But i think that’s enough. Aku sama dia kayak gini udah lama, bahkan terlalu lama. Kalau buatku ini udah terasa seperti rutinitas, tapi ternyata buat dia cuma sepintas? I need to end this now. Tonight.

Ia kembali dengan membawa segelas air putih. Kami duduk bersebelahan. Semua terasa dingin. Aku, dia, kaca jendela yang mulai berembun, juga suhu ruangan yang seperti mampu membuatku membeku. 

Aku akhirnya mencoba menjelaskan: “Syad, waktu tuh jalan terus, dan aku butuh ngerti kita tuh selama ini ngapain? Apartemen kamu udah kayak rumah kedua aku, bahkan aku naro sikat gigi aku di sini. Kebiasaan-kebiasaan kamu udah jadi bagian dari kebiasaan aku juga. Di luar jam kerja aku, isinya kamu. I see you like a home, and I need to know if we’re looking at the same thing. I like you. Aku bilang itu gak tahu udah berapa kali. Aku tahu kamu denger. Aku tahu kamu bisa lihat. Gak mungkin kamu gak tahu, kecuali pura-pura gak tahu. Ini semua terlalu nyaman buat kamu, tapi gak aman buat aku. You make me happy, no, you make me the happiest girl alive, but you make me scared too. Lebih baik ini selesai, daripada gak pernah ada ujungnya. You need to say something. About me. About you.

Ia menunduk, memandang gelas yang digenggamnya. 

What’s the different, sih?” Arsyad bertanya sambil menoleh ke arahku.

Different apa nih maksudnya?” jawabku.

“Iya kenapa harus jelas? Kita baik-baik aja, kita happywhy is it so important to tell what we are?”

Jawabannya membuatku terkejut, pemahamannya tentang hal-hal yang kupikir ia maknai ternyata jauh sekali.

Really? Are you serious? Kamu nih gak salah ngomong? It doesn’t heard like you.”

Okay. You like me, Al, and then what? Terus gimana? Terus kamu maunya aku gimana? Aku  harus jelasin gimana lagi?”

“Jelasin gimana lagi? Have you lost your mind? Kamu bahkan gak pernah jelasin aku apa-apa, Syad. That’s why I’m asking. Emangnya aku bego apa? Aku gak akan nanya kalau aku tahu. Everytime I told you that I like you, kamu ganti topik. Yang mau makan gak, mau pizza gak, mau nonton film gak, aku masakin ya. Jawaban kamu gak pernah nyambung sama pertanyaan aku!”

“Ya, aku gak tahu harus jawab apa, Al, aku suka kita yang kayak gini.”

Dia gak tahu harus jawab apa? Haha. Aneh. Aneh, ya? Bahkan di antara percakapan seterang-terangan itu, dia memilih untuk kabur, menyelamatkan dirinya sendiri. But not for me. Buatku, semua udah cukup. Tidak ada jawaban adalah jawaban. Dalam arti lain, dia memang tidak berniat memberiku jawaban dan tidak ingin menjelaskan. Well, it’s clear now.

Aku beranjak, mengambil tasku, dan ia pun meraih tanganku. “I like you, Al. Can you just stay?”

Aku emang gak yakin sama dia, tapi matanya… God, I wish I can show it to you. Matanya membuatku berharap banyak hal. Seolah aku tahu dia merasakan hal yang sama, tetapi dia kesulitan untuk mengucapkannya. Haha. Love. Gak rasional, sebenarnya, gak sampai pada logika bagaimana buatku, matanya lebih sanggup menjelaskan daripada penjelasannya sendiri. 

Akhirnya, aku pun kembali duduk. Ia menggenggam tanganku. Tangannya dingin. Aku tentu saja memberinya satu kesempatan (lagi) untuk membuatku mengerti sekali lagi. Ia juga tampak gelisah. Perasaanku, ternyata… membuatnya takut.

Dan dia benar menjelaskan: “Al, I like you too. Mustahil kalau aku gak suka kamu. Tapi aku gak pengin kita buat sekarang. It’s not the right time. It’s too soon. Aku pengin kayak gini sampai aku siap untuk namain hubungan ini. I like you a lot. Aku udah terbiasa ada kamu, jadi aku gak bisa kalau kamu harus pulang dan gak ada. Aku suka perasaan hangat sekaligus lengkap tiap sama kamu, tapi aku gak bisa kasih jawaban apa-apa sekarang.”

Gak ada waktu yang tepat kalau gak pernah dibuat. Tidak ada jawaban adalah jawaban. Ya. Nyatanya, dia bukannya gak siap, tapi emang gak pernah yakin. Karena setahun setelah dia ngomong gitu, kami selesai. Yah, meski sebenarnya gak pernah dimulai-mulai amat. 


6 responses to “Tidak ada jawaban adalah jawaban.”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: