“Ngapain di sini? Cari siapa? Mau nganter ikan lagi? Bu Hela nggak ada di sini.”
“Saya cari kamu.”
“Hadeh. Saya nggak merasa ada urusan sama kamu, dan saya gak mau kamu bikin urusan sama saya. Jadi nggak perlu ketemu-ketemu, nggak perlu cari saya, karena itu bukan sesuatu apa pun buat saya.”
“Saya…” Pra kehabisan kosa kata, tetapi tetap mencoba melanjutkan kalimatnya, “Saya harus ketemu kamu.”
“Harus ketemu saya? Gini ya, siapa pun kamu, yang saya juga nggak harus tahu, gini. Apa yang ada di kepala kamu, itu gak bener. Jangan coba untuk membenarkan itu. Saya nggak mau nyakitin kamu, jadi berhenti saja di sini.”
Ya. Sebenarnya tidak ada bab sepuluh dalam buku ini. Tokoh bernama Kinan itu seharusnya berhenti di bab pertama saja, seusai pertemuan pertamanya dengan si tukang ikan yang itu. Tapi tidak dengan keputusan Pra hari itu. Setelah kesalahpahaman yang terjadi, Pra memutuskan untuk mendatangi tempat kerja Kinan. Sebelumnya, ia sudah ke tempat kos Kinan, tetapi Bu Hela bilang ia sudah berangkat kerja. Bu Hela pun memberi tahu alamat tempat Kinan bekerja.
Ketika sampai, betapa terkejutnya ketika sambungan dari pertemuan pertama itu adalah sebuah penolakan yang apa dan kenapa pun tidak ia mengerti. Hanya saja, ada satu dari sekian banyak pertanyaan yang muncul dari mulutnya, “Itu seragam kerjamu?”
Kinan yang berbalik ikut terkejut dengan pertanyaannya, menengok melihat pakaian yang dikenakannya. Kaos hitam dengan kerah, celana hitam, juga sepatu kets yang sudah lusuh.
Seorang pegawai salon lain keluar dari dalam, seragamnya berbeda dengan apa yang Kinan pakai sekarang. Pra semakin membenarkan, “Bukan seragam, ya kan? Kenapa ganti baju? Nggak bisa di rumah saja gantinya?”
“Bukan urusanmu.”
Seorang perempuan lain datang dengan sepeda motornya, ia adalah Rina, “Ayok, Nan, nanti keburu selesai doanya.”
Doa? Dia terburu-buru untuk mengejar sebuah doa? Pra menyaksikan Kinan ikut pergi dengan Rina, dengan penolakan dan kebingungan yang musti disantap habis berbarengan. Ia menyalakan mesin motornya, tetapi tidak juga segera mengendarainya. Ada satu pikirannya yang ikut pergi bersama baju hitam itu. Seperti anak tangga yang menariknya untuk melihat ada apa sebenarnya.
Ia menggenggam setang, lalu kemudian mengikuti ke mana Kinan menjemput sebuah doa.
Setelah dua puluh menit berkendara, laju motornya perlahan melambat ketika banyak sekali kerangka bunga yang dilihatnya.



Beragam jenis karangan bunga dengan tulisan yang hampir sama, hanya pengirimnya saja yang berbeda. Muncul tanda tanya di kepalanya, siapa dari keluarga Kinan yang berpulang? Apakah karena itu ia mengganti pakaiannya jadi serba hitam?
“Parkir motor di sebelah sana, Pak.”
Seorang satpam menegurnya karena terlalu lama berhenti di depan karangan bunga. Pra mengangguk dan segera memarkirkan motornya. Mendadak, ingatannya kembali pada sebelas tahun lalu.
Sebelas tahun lalu, ketika umurnya tepat sembilan tahun. Di sebuah rumah besar yang sudah kehilangan rumahnya. Pada hari itu, ayah dan ibunya akan dimakamkan. Semua orang datang, yang ia kenal, bahkan yang tidak. Yang pernah datang ke rumah, dan yang tidak. Termasuk mereka yang baru dekat ketika sudah tidak ada obrolan yang bisa disajikan. Dari sekian banyak pilihan, Pra memilih duduk di bawah kolong tangga, memejamkan mata dan menutup kedua telinganya. Hari itu, ia berdoa, Semoga yang bisa kulihat adalah tidak ada, semoga yang bisa kudengar adalah tidak ada.
Sampai ia merasa ada tubuh seseorang mendekatinya. Lalu ia mencoba untuk membuka matanya, dan ia lihat seorang anak perempuan tersenyum dan mencoba meraihnya. Meraih tangannya yang dingin. Meraih dukanya yang masih hangat. Meraih segala hal yang bisa didekapnya pagi itu.
“Tangan kamu dingin.” Ucap anak perempuan itu.
Pra tidak menolak ketika anak perempuan itu beranjak dan menggandeng tangannya untuk ikut bersamanya. Seakan kesedihan yang dirasakannya, sejenak tersimpan dalam saku celananya.
“Kenapa mengajakku keluar rumah?”
“Biar kamu kena matahari. Biar kamu nggak ngerasa dingin lagi.” jawaban sederhana dari seorang anak berumur sembilan tahun yang pernah jadi separuh dari bagian hidup Pra. Itu adalah matahari paling hangat yang pernah ia kenal. Matahari yang kini sudah tenggelam di sebuah lautan yang bukan tempatnya. Dan… Di sanalah sisa hatinya berada.
Rumah duka tempat motornya terparkir sekarang, berhasil menayangkan ingatan yang ia kira sudah hangus terbakar.
“Jenazahnya nanti dikremasi,” suara seorang laki-laki terdengar di sampingnya, membuat Pra menyudahi lamunannya.
Ia berjalan masuk, walau kini tubuhnya seperti secangkir kopi yang berampas. Bagian atasnya siap diteguk, tetapi bagian dasarnya kaku, berat, Pra kesulitan melangkah. Cerita-cerita soal kematian sekarang mendatanginya seperti undangan yang tidak pernah bisa ia baca.
“Heh!”
Suara judes itu melengking persis di telinganya. Kinan ternyata mengetahui kedatangan Pra yang entah siapa mengundangnya. “Ngapain? Ngikutin aku?”
“Siapa yang meninggal, Nan?”
“Bukan urusanmu.”
“Bukan urusanmu juga berarti,”
“Hah?”
Bukannya menjawab, Pra malah berjalan masuk ke dalam. Pada saat itu, Pra tahu bahwa Kinan adalah tamu dalam hidupnya yang baru. Walau tidak ada lagi matahari, bahkan bulan dan bintang dalam hidupnya, tetapi Kinan ada di situ. Menjadi kegelapan yang tidak pernah meninggalkannya. Kegelapan yang mirip sekali dengannya, yang bisa membenci dan menyayanginya dengan begitu apa adanya. Namun, empat tahun setelahnya, Kinan memilih pergi tanpa terlebih dulu menutup cerita atau sekadar menulis kalimat selamat tinggal. Tidak ada. Ia meninggalkan Pra tanpa menyisakan apa pun untuknya.
***
Kinan menutup lalu kemudian mengunci pintu kosnya. Wati sedang duduk di depan, penampilan rapi sekali.
“Mau ke mana, Ti? Rapi banget,”
“Anaknya bulikku mau nikahan hari ini. Lha, kamu juga ngapain pagi-pagi dah ngunci kosan aja? Bukannya kalau Minggu libur?”
“Iya, emang libur harusnya. Tapi ibunya Hara kemarin nitip dibeliin soto.”
“Hayah… pake alesan soto segala.”
“Jangan begitu!”
“Kamu nggak nginep sana aja? Kan capek mondar-mandir gitu,”
“Aku nggak suka tinggal bareng orang lain.”
“Lho, katamu orangnya baik-baik?”
Kinan memelankan suaranya, “Nggak… nggak aja…” sebelum berlalu ia menuntaskan ucapannya pada Wati, “Nggak mau jadi tanggungan orang lain. Nggak mau nyusahin.”
Wati cuma bisa tersentak sambil menyaksikannya berlalu sambil berbicara dalam benaknya, Jiwa Kinan terlalu bebas. Mungkin burung bahkan kupu-kupu saja iri dengan kebebasannya. Bebannya adalah keberuntungannya. Kemalangannya adalah nasib baiknya. Aku gak kaget kalau dia selalu sendiri, mungkin karena Tuhan tidak mau ia berbagi cinta dengan yang lain lagi.
Darmanto keluar kamar, menegur Wati, “Malah duduk kamu, ayo sudah kesiangan kita!”
“Iya, Mas,”
Mengendalikan dan dikendalikan memang selalu jadi perkara besar bagi banyak orang. Dan sebelum mendengar kalimat-kalimat aneh dari mulut Kinan, Wati kira selama ini dia sudah bahagia. Wati kira hidup yang dia miliki sekarang sudah bisa memenuhi semua yang dia butuhkan. Ia mengira Darmanto sudah mampu menanggung beban dunianya termasuk suka dan duka, sebagaimana ikrar pernikahan waktu itu. Sebab ia jadi memikirkan kalimat Kinan tempo hari, “Ti, hidup itu nggak bisa pakai perkiraan, harus tepat perhitungan.”
***
Sebuah tenda dan kerumunan orang menutupi rumah putih berpagar hitam itu. Tidak seperti biasanya. Sangat jauh dari biasanya. Ia berusaha mencari jawaban lewat orang-orang yang lalu lalang berjalan di depan rumah itu.
Mencari titik terang yang akan menyesakkan dadanya. Mencari jawaban yang dalam lubuk hatinya sudah ia temui penjelasannya. Sampai sebuah bendera kuning begitu jelas terlihat oleh matanya. Seketika tubuhnya gemetar hebat. Ia berusaha mengatur nafasnya dengan baik tapi ia kesulitan.
Soto ayam titipan ibu yang ia genggam kuat, jatuh. Berserakan ke mana-mana. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya, menahan suara tangisnya agar tidak terdengar, dan tiba-tiba… seseorang meraih tangannya.
Orang itu adalah Hara. Ia segera membawa Kinan masuk ke dalam, ia berusaha menyelamatkan Kinan dari pemandangan itu namun ia tahu ia terlambat. Kinan terkejut dengan kedatangan Hara, namun apa yang ia lihat barusan lebih membuatnya terkejut. Ia menangis. Ia bahkan menyuarakan tangisannya seakan tidak peduli Hara akan berkata apa.
“Kinanti…” ucap Hara lembut padanya.
Kinan menepuk-nepuk dadanya. Ia berusaha untuk mengucapkan sesuatu, tetapi sulit. Dari sekian banyak kepulangan yang ia hadiri, baru kali ini sesak yang ia rasakan.
“Ken… Kenapa? Kenapa jadi kayak gini? Aku belum… dia belum… ini nggak adil, ini harusnya nggak… nggak kayak gini… Kenapa semua orang pulang, Har? Kenapa semua orang mudah melakukan itu? Kenapa… kenapa aku nggak pernah bisa pulang? Kena… Kenapa dia ambil… Kenapa dia ambil giliran duluan? Kenapa nggak aku aja? Har… Hara…? Kenapa kepergian harus selalu meninggalkan banyak pertanyaan?
Hara memeluknya.
***
Di teras depan, Hara dan Kinan duduk bersebelahan. Saat sesak yang menguasai hatinya telah surut, ia baru sadar akan pelukan Hara tadi. Bahwa pelukan itu jelas salah, harusnya tidak perlu terjadi andai saja ia bisa sedikit menahan kesedihannya. Sekarang, Kinan sangat malu dan entah kenapa sangat merasa bersalah. Ia masih diam, dan Hara jelas mengerti perasaan kikuk itu.
“Serangan jantung, Nan.”
“Ha?”
“Ibu yang tinggal di rumah itu, meninggal subuh tadi karena serangan jantung, bukan karena kelaparan atau kekurangan air seperti yang kamu bayangkan.”
Berusaha terlepas dari situasi yang canggung, Kinan beranjak, “Aku… aku mau ke rumah ibu itu dulu.”
“Saya temenin, ya?”
“Jangan, nggak usah.”
Kinan mempercepat langkahnya untuk meninggalkan Hara. Masih tidak ia sangka tubuhnya mengizinkan Hara untuk mendekapnya cukup lama. Laki-laki kedua yang memberinya pelukan setelah Pra. Entah kenapa rasanya sangat salah, entah kenapa juga aku langsung teringat Pra sekarang. Pelukan mereka sama seperti arti nama keduanya bila digabungkan. Prahara. Badai. Angin topan! Haduuh, kenapa Hara pakai peluk segala sih? Apa semua tangisan membutuhkan pelukan?
Tepat di depan rumah berpagar putih itu, terdengar lantunan ayat-ayat suci. Langkahnya yang semula terburu-buru, mendadak berhenti. Perasaan yang tadinya sudah mereda, deras kembali. Dari sekian banyak rumah duka yang ia kunjungi selama ini, keberaniannya menciut hari ini. Dan di rumah duka mana pun ia berada, cerita tentang Pra tidak akan pernah habis ia kenang. Seperti suatu hari itu, ketika setelah pulang melayat, Pra bertanya apakah suatu hari nanti Kinan mau pergi ke tempat lain bersamanya.
“Nan, kalau aku pengin ajak kamu pergi… kamu maunya ke mana?”
“Maunya pulang,”
“Maunya pulang ke mana?”
“Ke tempat yang jauuuuh dari sini.”
“Memangnya ada?”
“Ada. Tapi jalannya sulit ditempuh, bahkan berbahaya.”
“Apa iya pulang harus tentang mengorbankan?”
“Harusnya nggak, seandainya Tuhan nggak pernah membuat manusia memilih antara meninggalkan atau ditinggalkan.”
Tuhan, bisakah detik ini dibuat menjadi perjalanan sekali jalan saja? Bolehkah aku masuk ke dalam rumah ini dan tidak perlu keluar lagi? Bolehkah aku ikut ibu pergi? Bolehkah kalau Kinan katakan bahwa… bahwa Kinan ingin—
Belum sampai selesai kalimat itu terucap dari dalam kepalanya, sepasang tangan menepuk bahunya dari belakang, dan menuntunnya untuk masuk ke dalam. Kinan menoleh ke belakang, dan itu Hara.
“Sst… pelan-pelan, semua orang lagi khusyuk!”
“Aku nggak mau masuk ke dalem, Har!!!”
“Kamu hanya takut, bukannya nggak mau.”
Sesampainya di dalam, sekitar empat hingga tujuh orang duduk mengelilingi jenazah perempuan itu. Hara mengajaknya ikut duduk, sempat menawarkannya untuk mendekat, tetapi Kinan menolak, “Di sini aja.”
Pra? Kamu di sana? Dengar aku? Ingat dengan pertanyaanmu waktu itu? Ketika sambil kebingungan kamu tanya ke aku, “Nan, apakah upacara kepergian selalu memaklumi kesedihan?”
Dan waktu itu aku marah mendengar pertanyaan konyolmu. Pertanyaan paling tidak masuk akal selama mengenalmu. Aku lebih baik mendengarmu berbicara soal astronot, soal bentuk bulan, soal apakah bintang punya rumah atau selama ini mereka hanya tergantung di tempat yang tidak seharusnya. Aku marah karena pertanyaan itu adalah pertanyaan yang selama ini ada di kepalaku, tetapi aku terlalu takut untuk menanyakannya sedangkan kamu bisa. Aku marah karena kamu tanpa pikir panjang melontarkan itu padaku. Aku marah karena jawabannya tidak, Pra. Tidak semua upacara kepergian memaklumi kesedihan, karena beberapa kesedihan tidak bisa selalu dimaklumi. Harusnya kamu ada di sini sekarang, Pra. Namun sanggup terdengar sampai di telingaku kamu seolah berkata, “Yah, Nan, nggak ada monstera di sini. Adanya pohon mangga. Aku nggak tahu deh pohon mangga itu beracun atau nggak. Kamu juga nggak akan peduli kan? Sama aku saja tidak, apalagi sama pohon mangga. Kadang ya, Nan, aku ingin jadi orang mati yang selama hidup tidak pernah kenal kamu, supaya bisa dapat pedulimu. Supaya bisa kamu datangi seperti rumah duka itu. Seperti yang sudah-sudah.”
Hahaha… Pra. Leluconmu lebih lucu ketika kuingat lagi, daripada langsung kudengar dari mulutmu. Andai takdir hidup memberi kita berdua pilihan yang lebih baik, aku maunya tetap bersamamu, Pra, tapi Tuhan egois walau katanya Dia sangat adil. Jadi, itu sebabnya kamu di sana dan tidak bersamaku.
Air matanya jatuh hingga ke tangannya. Ia memandang jenazah perempuan itu seperti pandangan seorang anak kepada ibunya. Seorang anak yang ingin ibunya bangun, membuka mata, dan memeluknya. Ya. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Kinan menginginkan itu. Kinan menginginkan ketidakmungkinan itu.
Perlahan kepalanya menunduk ke bawah, bukan karena ia ingin, tapi karena ia harus menyembunyikan air matanya dari semua orang termasuk Hara. Entah apa setelah ini ia masih berencana untuk mengunjungi rumah duka lagi, atau mungkin ini yang terakhir kali. Ia terus mengepal tangannya kuat-kuat. Marah, marah, dan marah. Entah pada apa dan siapa. Entah mengapa ia sangat merasa marah kepada kepergian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya.
“Kinan…” Hara memegang tangan Kinan yang mengepal, membuat tangisan yang tergenang di matanya menetes. Lalu Hara melanjutkan, “Kadang kita ingin pulang, tapi kita nggak tahu harus pulang lewat jalan yang mana. Dan beliau ini sudah menemukan jalan pulangnya, Kinan, bukan salahmu kalau kamu masih terjebak di sini. Kita datang ke dunia untuk pergi lagi melalui jalan pulang kita sendiri, cuma sayangnya, waktu belum kasih jawabannya sekarang buat kamu.”
6 responses to “BAB 10”
selsai sudah 1-10 ku dalam sehari, ditunggu kelanjutannya ya us 🙂
LikeLike
Harus dilanjutin uss,
Aku ingin seperti mu.
LikeLike
Paus, kenapa PRA menyakitkan. Keterikatan antara Pra dan Kinan kenapa terlalu rumit sekaligus indah sekaligus menyedihkan. Keterikatan antara Kinan dan “pulang” kenapa harus dijelaskan semenyakitkan ini? Kenapa tidak ada yang sederhana saja? tapi yang sederhana bukan kamu ya us, kamu selalu bisa membawa teri ke sebuah labirin yang rumit dan menyesakkan, iya labirin, seperti yang dikatakan Pra, labirin yang sebenarnya akan selalu ada jalan keluarnya. Paus aku pengen ketemu juga sama Hara, atau siapapun, sebelum aku menjadi terikat dengan “pulang” seperti Kinan.
LikeLike
Pada hakikatnya, Kinan adalah manusia yang benci perpisahan. Adakah jalan yang abadi di mana orang-orang yang dicintainya tidak pergi darinya? Kinan terlalu lama mengunci pikirannya, mereka yang pergi benar-benar tidak bisa kembali ke bumi. Oleh karena itu, ia selalu sendiri di bumi yang penuh ilusi.
Semoga ada tulisan baru tentang Pra lagi di blog ini. Great job, Tsana!
LikeLiked by 1 person
agak berat..
LikeLike
kinannnn, astaga
LikeLike