BAB 6


Kinan memandangi seekor kucing yang tidak mau pergi dari depan pintu kamar kosnya. Warnanya perpaduan hitam dan putih, mungkin umurnya sekitar dua bulan. Berulang kali Kinan mengusirnya tapi kucing itu tidak juga pergi. “Pemalas!”

“Dia nggak ngerti bahasamu juga, Nan.” ucap Wati sambil mengelap kaca jendela. Ia terheran-heran dengan perilaku aneh Kinan setelah makan soto. Khawatir soto yang dimakannya mungkin beracun atau sudah basi atau sudah dijampi-jampi. Sebab harusnya Kinan bisa saja memindahkan kucing itu bila inginnya masuk ke dalam kamar, tapi mengapa justru terus dipandanginya kucing tak berdosa itu. 

Ia ingat kalau Pra suka kucing juga anjing juga kupu-kupu juga seekor semut. Kalau Wati bilang kucing itu tidak mengerti bahasa manusia, tetapi Pra justru pernah berkata, “Semua yang bernyawa memiliki satu bahasa yang sama, Nan; bahasa semesta. Bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu yang berbeda dengan garis yang sama; hidup dan mati. Itu yang menyamakan aku dengan anjing dengan pohon dengan langit sekalipun,”

“Jadi langit nantinya juga akan mati, Pra?”

“Yah, nggak ada yang mau hidup lama-lama, Nan.”

“Di antara kita harus ada yang lebih lama di bumi, Pra, aku ingin tahu seperti apa ketika semua ini berakhir.”

“Kalau aku duluan yang mati?”

“Nanti aku titipkan ceritanya di samping batu nisanmu.”

“Kalau kamu duluan yang mati?”

“Kalau aku duluan yang mati…”

“Besoknya aku, Nan. Nggak ada kamu, berarti nggak ada aku.”

Jawaban dari semua pertanyaan yang Kinan tanyakan, bukan sebuah janji sungguhan. Selama ini, Pra cuma menyampaikan hal-hal yang ingin Kinan dengar. Dulu, Dawan selalu bilang padanya, “Janganlah kau beri kalimat indah bila nyatanya nggak akan bisa seperti itu, mendekati saja mustahil.” Tapi kini semua orang mengerti, bahwa Kinan sendirilah yang membutuhkan kata-kata yang hangat itu. Kinan sendiri mengerti bahwa Pra tidak bermaksud menyembuhkannya, tetapi cukup meredakan perasaannya.  

Wati melihat Kinan yang tampak tidak keruan. Berulang kali ia menjatuhkan gagang sapu supaya Kinan bisa memindahkan fokusnya pada dirinya, tetapi tidak. Dalam hati Kinan justru terus meminta kucing itu untuk menjawab pertanyaannya.

“Hei, pemalas, ngapain kamu?”

“Hei, di mana ibumu?”

“Hei, mana bapakmu?”

Dipandanginya seekor kucing yang bernasib persis seperti dirinya, yang semakin diusir semakin mendekat pada kaki Kinan. Mungkin bapakmu sudah punya istri lagi. Mungkin ibumu mati di jalan raya atau dia hidup dan sudah punya anak lagi. Percaya kata-kataku bahwa tidak tahu itu enak, kecuali kamu sudah mengira-ngira apa yang akan kamu ketahui itu bagus atau tidak bagus. Bila yang kamu ketahui nanti tidak seperti yang kamu kira, maka hidupmu akan seperti aku. Jauh dari rumah. Jauh sekali. Barangkali rumah itu sudah tidak ada ketika ibu tidak pernah lagi pulang. Entah. Tidak tahu. Lebih baik begitu. 

***

“Wan, apa Kinan marah denganku?”

“Mungkin dia justru sudah nggak marah lagi denganmu, itu sebabnya sekarang dia nggak di sini.”

Kepergian Kinan seperti jalan buntu untuknya. Tidak ada kanan atau kiri, tidak ada besar atau kecil, tidak ada benar atau salah, tidak ada pasti atau tidak pasti. Pelaut yang terkenal pemberani itu, kini kehilangan arah mata anginnya. 

“Aku salah kira.”

“Jangan samakan perempuan dengan arah laut, Pra. Kamu itu nggak sedang mencari, kamu udah nemu, tetapi kamu biarkan ia pergi.”

“Tidak, Wan. Ini jalan buntu.”

“Mungkin bukan jalan buntu, Pra, mungkin memang bukan jalanmu saja.”

Untuk sejenak Pra sadar bahwa dunia yang ia kira kecil itu sebenarnya lautan luas tak berujung. Ia mengira empat tahun lalu sampai hari terakhir ia akan tiba di sebuah rumah duka ¾ yang sampai sekarang belum diketahui di mana alamatnya, ia akan selalu bersama perempuan yang rambutnya mudah kusut itu. Tetapi tidak, nyatanya tidak seperti apa yang ada di kepalanya. Bahwa bumi adalah cerita horror paling nyata untuk dibaca, kita semua pemerannya, kita tidak bisa menentukan pasangan tokoh utamanya. Bahwa… bahwa dalam hidup Kinan, bukan aku akhir bahagianya.

“Aku akan ke Semarang. Aku akan bawa ia pulang.”

“Kamu ingin bawa ia pulang, memang kamu sudah lebih dulu yakin bahwa rumahnya di sini? Apa kamu rumah yang dia inginkan, Pra? Apa ia juga rumah yang kamu tuju?”

“Jelas saja.”

“Ya, jelas, Pra. Jelas saja perkataanmu barusan tidak jelas sama sekali. Sekarang kutanya, apa urusanmu dengan gadis yang terbenam setiap sore itu sudah selesai? Apa kamu sudah tidak lagi menantinya terbit suatu waktu?”

“Di hidupku sekarang cuma ada Kinan, Wan, itu saja yang kutahu.”

“Pra… Pra. Kamu sendiri tahu bahwa kemarin dan sekarang, dihubungkan jembatan yang dibangun dengan logam yang begitu keras, begitu kuat sampai tak mudah hancur. Jembatan itu akan selalu ada, Pra, kamu saja yang memilih untuk terjun ke bawah. Kamu yang memilih jalan itu sendiri.”

Lima tahun lalu, Pra memijakkan kakinya di kota ini. Sebuah pilihan yang tanpa pikir panjang berubah jadi keputusan. Dengan sebuah kapal yang berhasil membawanya pergi jauh dari kota yang terkenal paling berisik di negeri ini. Lima hari empat malam setelah kapal itu berangkat dari Tanjung Priok, sejak saat itu ia tahu semua akan berubah. Tentang Jakarta yang tidak pernah terpejam, tentang ayah dan ibu yang pergi tanpa berpamitan, tentang bau rumah sakit yang mewangi di sekeliling tubuhnya, tentang gadis bernama Matahari yang (entah) masih membawa jejaknya.

“Ia sudah lama terbenam di Jakarta, Wan, begitu pun dengan bagian dari diriku yang menjadi miliknya.”

“Lalu? Sekarang ke Semarang?”

“Setidaknya di sanalah Kinan berada.”

“Kamu ini sedang bingung, Pra,”

“Setidaknya ada bahasa yang bisa kumengerti, Wan, dia pergi seolah empat tahun itu nggak pernah menahun. Dia meninggalkanku seolah aku adalah rumah duka yang berumur semalam saja.”

“Mungkin itu mengapa kamu sering diajaknya ke rumah duka, Pra, untuk menjadi kematian yang terkenang dan nggak lebih dari itu.”

Dawan cuma ingin sahabatnya itu berangkat dari pelabuhan yang membuatnya tidak lagi berani mengambil keputusan. Sebab cintanya pada Kinan ¾ yang tiada tahu itu cinta atau bukan, telah memecahkan hidupnya menjadi serpihan kosa kata yang terpenjara di kamus bahasa.

***

Seminggu sudah Kinan berada di Semarang. Belum menyerah, masih berusaha betah, atau mungkin sebenarnya sudah betah hanya saja ia masih memastikan keyakinannya bahwa Semarang akan menjadi jalan pulangnya. 

Pukul delapan pagi. Hara menjemputnya dengan mobil sedan tua. Kinan masih belum tahu ke mana ia akan membawanya. Hara cuma bilang, “Kita akan ke tempatmu bekerja.”

Seminggu ini, Kinan mengamati orang-orang yang ditemuinya. Di jalan, di warung makan, di mini market, di depan gereja, di alun-alun kota, juga di indekosnya. 

“Walau termasuk kota metropolitan yang besar, tapi Semarang tak sebesar Jakarta. Jadi kalau mau ke mana-mana masih dekat, kalau kamu hilang masih mudah dicarinya.”

Kinan menoleh, “Masa begitu?”

Hara tertawa. Kinan yang tidak mudah diajak bercanda itu, tidak banyak menanggapi. Sesekali ia menyeka keringat di wajahnya dengan tisu. Tidak mengeluh soal AC di mobil Hara yang rusak. Ia ingat Pra pernah bilang, “Yang kamu keluhin itu cukup dirasain aja, Nan, gak usah dipusingin.”

Kalau sama Pra, persoalan-persoalan dari pertanyaan yang diawali dengan bagaimana, jadi jawaban yang begitu sederhana. Tapi sayang hidup nggak begitu, banyak sulit dan ribetnya. 

“Ini… aku nggak bisa tau dulu mau dibawa kerja ke mana?”

Ketika di lampu merah, Kinan berusaha untuk bertanya, sebab ia bahkan belum diberi kepastian akan bekerja di salon lagi atau bukan.

Hara kemudian tersenyum, “Di salon kamu mengurus rambut orang, kan? Nah, di Semarang, kamu ngurusin ibu bapakku.”

“Jadi… pembantu gitu?”

“Kalau untuk ngurus rumah, sudah ada orangnya. Ini kamu ngurusin ibu bapakku.”

Kinan bingung. Yang ia tahu, mengurus berarti memelihara sesuatu yang sudah tidak terurus. Aku harus jagain orang tuanya, gitu? Aneh banget. Kalau cuma buat jagain orang tuanya, kenapa harus bawa aku jauh-jauh? Di sini pasti banyak yang menginginkan pekerjaan itu. Nggak jelas, pikirnya. 

Hara tahu kalau Kinan bingung. “Makanya kan tadi kubilang, kalau sudah sampe kamu pasti akan paham sendiri. Kalau di sini jadi bingung, kan?”

Hara adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya tinggal di Cepu, Blora. Adiknya tinggal di Jakarta. Rumah Hara sendiri sebenarnya juga di Semarang, tapi pekerjaannya membuat ia harus pindah ke antar daerah untuk memastikan keadaan bisnisnya terkendali. Dalam perjalanan, Hara menceritakan hal itu pada Kinan.

“Lalu? Rumah yang di Semarang?”

“Ya… ditinggali anak dan istriku.”

“Kalo kamu kerjanya ngapain?”

“Kerjaku jalan-jalan, Nan. Makanya bisa ketemu kamu,”

“Ah, nggak mungkin jalan-jalan.”

“Eh, gimana kosmu? Enak tempatnya?”

Hara segera mengganti topik pembicaraan. Antara ia tahu nantinya Kinan akan mengerti dengan sendirinya, atau beberapa hal memang lebih baik tidak dimengerti saja. Sebab, bukankah dunia lebih jelas ketika pandangan mata justru sedang tidak fokus?

Kinan bercerita tentang adaptasinya, tentang teman barunya bernama Wati yang sudah bersuami, bahwa tiap hari ia harus dengan cerita Wati yang mengeluh soal kebiasaan suaminya. Soal pulang kerja dengan muka masam, dan tidak mengucapakan salam. 

“Ya mungkin suaminya capek di tempat kerja,”

“Ya, Har, kalo responmu begitu doang, itu udah kuomongin ke Wati ratusan kali.”

“Kamu tidak kawin, Nan?”

“Pertanyaan itu pertanyaan kesukaan semua orang, ya?”

Hara terkekeh, “Hahahaha, kesal, ya?”

“Nanti aja nikahnya, kapan-kapan.”

“Besok-besok aja bilangnya, Nan, jangan kapan-kapan.”

“Emang apa bedanya?”

“Kapan-kapan itu terlalu nggak pasti.”

Ada orang yang takut untuk jujur karena kebohongan membuat hidup jadi lebih mudah, ada pula orang yang takut memulai lagi dari awal karena pernah berada pada perjalanan jauh yang membuatnya terjatuh. Ada juga orang yang seperti Kinan, yang takut untuk menjalin sebuah hubungan atas penglihatannya terhadap bapak dan istri barunya. Seperti ucapannya kepada Pra hari itu, “Tidak ada yang benar-benar sejati, Pra. Kalau bapakku saja bisa menikah lagi, jatuh cinta lagi, maka ada cinta lain dalam hatinya. Sesudah, bahkan juga sebelum ibu. Aku tidak mau berada di antaranya, Pra. Aku ingin menjadi yang satu-satunya.”

Dan, ya. Hara melihat ketakutan itu. Ketika pertama kali ia melihat perempuan yang tangannya gemetar, matanya berdekip dengan jeda lebih cepat. Hara merasakan kegelisahan yang Kinan kira tiada siapa pun menyadari itu. Hara pernah hampir kehilangan orang yang dicintainya, dan kini, ia akan menyelamatkan satu hidup lagi. 


13 responses to “BAB 6”

  1. uss akuu tungguu bab 7 nyaa😭, terimakasih sdh mengisi waktu kosong ku dengan membuat cerita ini ya uss hwaiting us!!💗

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: