Aku merekam ini pada suatu hari di bulan Maret. Akhir-akhir ini masih sering turun hujan. Bahkan seminggu yang lalu aku bisa melihat pelangi tanpa perlu pakai kacamata. Indah meski tidak benar-benar jelas dan sempurna.
Anginnya cukup menakutkan. Tanamanku banyak yang jatuh karena raknya tidak kuat menopang. Beberapa di antaranya patah, tidak terselamatkan dan harus kurelakan. Kalau pun dipaksa untuk disatukan, mereka akan mati tanpa perlu menunggu lama.
Yah… rak hanyalah sebuah tempat, dan kamu pun tahu, tidak semua tempat mampu menahan banyak beban.
Hahaha
Dulu, cerita kita juga gitu, kan? Aku yang kelelahan, kamu yang minta dilepaskan, membuat hubungan kita gak kuat, gak sanggup dia menolong kita berdua. Dan kemudian, kita pun terjatuh, patah.
Setelah itu, aku tidak benar-benar tahu apa yang terjadi. Aku lupa. Mungkin aku sempat mati, tapi gak jadi, atau mungkin juga hingga kini ada bagian dalam diriku yang sudah gak ada lagi. Aku gak tahu ternyata, itu masih jadi teka-teki.
Tidak, tuan. Kita tidak perlu mengatasi pertanyaan itu, biarkan jadi misteri yang abadi. Kenapa? Sudah, pokoknya jangan dibahas lebih luas lagi. Jangan saja.
Lagipula, bukan itu alasan mengapa kamu mendengar suaraku lagi setelah cukup lama. Ya. Alasan yang tepat adalah karena aku rindu. Terlalu jelas? Biarlah. Aku sudah terlalu tua untuk basa-basi dengan perasaanku. Aku sayang waktuku, kasihan dia kalau dipakai untuk sembunyi-sembunyi dari pikiranku sendiri. Jadi… Iya, aku rindu.
Makanya, kali ini yang resah bukan perasaanku, tapi jari-jemariku. Sapa tidak ya? Pakai alasan apa ya? Akan kamu balas atau tidak ya? Nomormu masih sama kan ya?
Jari-jemariku gelisah, mereka seperti anak kecil yang tersesat. Tidak bisa diam dan terus berjalan tanpa arah. Payahnya adalah, rinduku lebih besar dari gelisahku. Jadi… Itu terjadi. Pesan yang kukirimkan padamu hari itu.
“Ternyata rasanya biasa aja, gak ada yang spesial.” kataku.
Tidak, aku tidak berniat tanya kabarmu. Tidak peduli juga kamu sedang apa. Aku cuma bilang kalau rekomendasi makanan darimu tempo hari, ternyata biasa saja. Mengecewakan. Biasanya kamu selalu tahu makanan yang enak, atau karena, kita memang sudah tidak satu selera.
“Ah, masa sih biasa saja. Makannya gak baca doa dulu kali.” balasmu.
Iya. Kamu membalasnya. Sapaan itu benar-benar terjawab, tidak jadi satu suara yang kesepian, ia didengarkan. Entahlah, entah itu kabar baik atau sebaliknya. Tapi…
“Baca doa kok, emang biasa aja rasanya. Kamu terlalu berlebihan kalau bilang itu enak.” kataku lagi.
“Ya sudah, kita kritik saja sama-sama.” jawabmu dengan cepat.
Tidak tidak tidak.
Jari-jemariku yang semula menggebu-gebu, terdiam. Seolah anak yang tersesat tadi sudah bertemu dengan ibunya, dan ia harus segera pulang.
Membaca “sama-sama” dari kamu, membuat pikiranku jadi aneh, dan itu salah. Dan… Aku takut jadi ada yang keliru.
Itu sebabnya, aku tidak membalas pesanmu lagi.
Bukan karena tidak ingin, aku bahkan merasa sangat dungu dan konyol pada diriku sendiri karena aku masih saja menatap kolom pesanmu. Entah untuk apa. Mungkin aku masih menunggu kamu mengirim pesan yang baru, atau karena tidak ada yang benar dari pikiranku saat itu.
Andai kamu tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya, aku yakin kamu akan bilang:
Bukankah itu yang menyenangkan dari rasa rindu? Untuk menerima perasaan baru yang tidak ada namanya.
Mungkin lebih baik tidak perlu dibahas lagi.
Sebab…
Masih tentang perasaan-perasaan yang itu.
Yang tadinya tidak tersisa, namun kembali terasa.
Yang kukira punah, lalu datang secepat anak panah.
Apa kamu juga bisa meraskaan sesuatu yang kini sudah tidak pantas itu?
Atau ada hal lain lagi?
Atau ada lagu yang kamu kenal terdengar di supermarket?
Tenang saja, itu bukan aku.
Aku sudah tidak suka apa yang kamu suka. Karena aku tahu itu akan menghancurkanku secara tiba-tiba.
Yah, itu pun, kalau kamu tidak lupa.
2 responses to “Menanti Sapa.”
pas bgt sama aku yg lagi rindu someone
LikeLike
gilaaaaa. aku nangis paussss:(((((
kenapa relate hm
LikeLike