Aku menulis ini karena aku takut lupa dengan hari ini. Mungkin spontan kamu akan bilang, Ah, mana mungkin kamu bisa lupa. Hei, Tuan. Apa kamu lupa siapa di antara kita yang punya super memori? Hahahaha, jadi, untuk sekali ini, jangan protes dan biarin aku yang menang.
Sebenarnya juga, tulisan ini adalah lanjutan dari tanda titik sebelum kalimat selamat tidur. Nggak tahu kenapa aku baru bisa sebebas ini menuliskanmu ketika kamu sudah terlelap. Tenggelam jauh ke dalam mimpi-mimpi yang, entahlah, kamu belum pernah menceritakannya. Tapi aku mau, aku mau salah satu mimpiku akhir-akhir ini bisa kejadian beneran suatu hari nanti. Iya. Mimpi yang itu.
Jadi, bagaimana rasanya? Bangun di satu pagi yang akan jadi dirimu versi terbaru sampai setahun ke depan? Mmm… agak malas untuk mengakui ini tapi, yang pasti, kamu akan semakin keren dan semakin menginspirasi banyak orang. Beberapa hal yang aku yakini entah juga kenapa bisa seyakin itu.
Kamu tuh sadar nggak sih sebenarnya aku ini lumayan pelupa. Bahkan di antara teman-temanku, aku yang paling lemot dan lelet. Dua hal yang sangat mendukungku untuk jadi pelupa. Tahu, ya? Tahu sih kayaknya. Ini sebenarnya alasan kenapa aku menulis, alasan yang jarang kusampaikan ke publik. Ya… sebenarnya nggak pelupa-pelupa banget sih, cuma memang, aku cuma bisa mengingat hal-hal yang benar-benar berhasil masuk ke dalam duniaku. Karena nggak semua kuizinkan masuk, makanya banyak orang nggak heran kalau aku kelihatan sangat kesepian.
Walau kamu berhasil masuk ke dalam duniaku, diterima semestaku bahkan diterima oleh tiap sudut yang ada di dalamnya, aku akan tetap menuliskanmu walau cuma dalam sebuah kertas yang, ah, kamu nggak akan bisa membacanya. Tapi gapapa sih, toh, kamu sudah bisa baca aku tanpa perlu berusaha terlebih dulu.
Curang banget. Nggak adil. Ternyata kamu yang dapat hak veto itu, hak istimewa untuk bisa melakukan telepati denganku setiap waktu. Iya… telepati. Hal romantis yang menurutmu nggak lebih dari sesuatu yang logis. Kadang, aku kesulitan untuk bicara sama kamu. Tapi, kabar baiknya, kamu selalu memahami imajinasi-imajinasiku yang mungkin, sebenarnya kamu nggak benar-benar ngerti. Makasih, ya? Makasih nggak minta aku berubah.
Mungkin itu kenapa semestaku dan teman-temannya sangat senang denganmu. Mungkin itu juga yang jadi alasan kenapa aku nggak kaget kalau ada banyak orang yang mengagumimu. Dan… aku sangat berterima kasih untuk itu, untuk kamu ada di dunia ini. Ain’t nothing better than that.
Bertahun-tahun aku melukis kanvasku dengan warna hitam, sampai suatu hari pukul 5.44 sore, kamu bilang, “Tsana, semangat terus ya!”
Kita memang nggak akan pernah tahu sama cara kerja semesta. Tapi aku tahu ada hal baik yang semesta coba titipin buat aku lewat kamu. Dan ternyata, hal baik itu adalah warna baru buat kanvas aku. Memang lukisan yang kubuat masih saja abstrak, tapi setidaknya, nggak sehitam biasanya. Aku nggak bohong. Karena bukan aku doang yang merasa ada perubahan dalam diriku sendiri.
Suatu pagi, ketika aku bangun, rasanya, semesta terlihat jauh lebih menyenangkan dari hari-hari sebelumnya. Aku keluar kamar, menyapa semua orang di rumah.
“Selamat pagi!”
“Selamat pagi, Mbak, masak apa hari ini?”
“Hai ibu, gimana tanamannya?”
Aku jadi orang paling ceria hari itu.
Kenal kamu rasanya seperti mengenal diriku sendiri. Kayak melihat diriku di cermin. Sama persis. Nggak ada bedanya. Sampai aku sadar bahwa, kita beda. Iya, kayak aku lihat diriku di cermin. Walau terlihat sama, ternyata kita sangat berbeda. Walau terlihat dekat, semestaku dan semestamu ternyata sangat berjauhan. Tapi gapapa, karena aku ingat betul apa yang pernah Pak Sapardi bilang sama aku, “Ada masalah yang tidak perlu pemecahan, karena pemecahan terkandung dalam masalah itu. Ruang kedap suara akan menyatukan yang berbeda.”
Jadi, semua biar berjalan sebagaimana mestinya. Dan seiring waktu berjalan, kita akan sama-sama menyembuhkan. Hal-hal baru yang mengagetkan walau nggak juga terasa asing itu, akan jadi buku paling punya makna walau nggak pernah dituliskan. Karena, beberapa hal memang lebih baik disimpan sendirian, bukan?
Surat ini mungkin akan tua dimakan usia. Mungkin kita akan lupa, mungkin semua kesenangan itu akan lebih cepat berakhir dari yang kita kira, tapi kamu akan terus mengejar mimpi-mimpi hebatmu, dan percaya deh, aku akan selalu mengagumimu. Kamu hebat. Nggak ada yang lebih membuatku senang dari melihatmu senang melakukan apa yang kamu lakukan.
Aku lega karena kita nggak perlu memilih, aku lega karena kita memahami batas itu, aku lega karena kita sama-sama dewasa untuk mengerti bahwa beberapa hal sudah erat tanpa perlu terikat. Dan pada akhirnya, kapal itu pulang ke pelabuhannya masing-masing. Aku ke Utara, kamu ke Selatan, sebagaimana mestinya, sebagaimana cerita baik yang diselesaikan walau nggak pernah diciptakan.
5 responses to “Aku Menulis Ini Karena Aku Takut Lupa.”
Pernah:'(
LikeLike
😥
LikeLike
😥
LikeLike
Haha seperti ngebaca kisah diri sendiri
LikeLike
Tsana maksih banyak ya
LikeLike